May 7, 2010

PP Tanah Terlantar Dan Bisnis Perumahan

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Sejak ditebitkan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 11/ 2010-tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar-menuai protes dari berbagai kalangan, terutama mereka yang memiliki kaitan dengan keperluan lahan dalam jumlah besar.

Kelompok tersebut umumnya bergerak di sektor perkebunan, kehutanan dan pertanian, Selain itu, mereka yang punya kepentingan dengan pertanahan di perkotaan untuk mendirikan proyek perumahan/permukiman.

Sebenarnya ada pihak yang diuntungkan dengan terbitnya PP Tanah Telantar. Hal itu dimungkinkan karena bagi masyarakat yang tidak memiliki akses pertanahan akan mendapatkan tanah sesuai peruntukannya.

Kebijakan mirip land reform ini memang memiliki dua implikasi yang muncul. Di satu sisi, ada manfaat untuk kalangan masyarakat bawah. Namun di sisi lain, kebijakan ini akan mengganggu dinamika bisnis sektor tertentu.

Pelaksanaan kebijakan ini harusnya diatur sedemikian rupa agar tidak memunculkan polemik. Jika ditelisik dari segi content regulasi, PP Tanah Telantar masih belum dilengkapi dengan petunjuk teknis penertiban lahan.

Redaksional yang tersirat dalam peraturan ini juga banyak bertabrakan. Misalnya dalam PP Tanah Telantar disebutkan perlu ada penelitian atau identifikasi untuk menentukan lahan itu telantar atau tidak.

Juga dalam kaitannya dengan waktu penggunaan. Jika lebih dari 3 tahun tidak digarap, maka akan ditertibkan oleh pihak berwenang. Adapun, aturan lainnya menyebutkan perlu ada pendaftaran ulang dalam 5 tahun terakhir.

Terlepas dari masalah itu, semangat yang ada dalam regulasi ini memang patut di apresiasi. Hanya saja pemerintah perlu melihat kondisi lapangan. Terutama untuk menjaga iklim bisnis yang menyangkut kepercayaan investor.

Perumahan stagnan

Untuk sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan mungkin akan bisa diterapkan PP Tanah Telantar ini. Namun untuk sektor bisnis-khususnya sektor perumahan dan permukiman yang membutuhkan lahan cukup besar-peraturan tersebut sangat tidak membantu. Oleh karenanya, akan menyebabkan bisnis properti menjadi stagnan.

Pengawasan pemerintah sebaiknya hanya pada upaya mendorong peningkatan ekonomi sekitar lahan yang digarap, sehingga pihak swasta menjadi tertantang untuk mewujudkan pengembangan proyek mereka.

Sebagai contoh, dalam pengembangan perumahan rencana pengembangan kota mandiri tentu membutuhkan lahan di atas 50 ha. Jika lahan tersebut digarap secara langsung, maka akan membutuhkan biaya besar.

Pertimbangan tadi membuat banyak pengembang mem�bangun proyek secara bertahap, tetapi tetap dalam kerangka pengembangan yang direncanakan. Dari segi waktu, pembangunan kawasan tadi mungkin mamakan waktu minimal 10 tahun.

Jika dalam PP Tanah Telantar aturannya adalah maksimal 3 tahun-setelah keluarnya hak perizinan-maka tanah yang akan dikembangkan tersebut akan sulit untuk dibangun karena biayanya akan sangat besar.

Lain hal, jika ada lahan milik pengembang yang sengaja ditelantarkan atau sengaja ditimbun untuk menjaga nilai tanah hingga tinggi. Maka untuk kasus ini, mereka harus mendapatkan sanksi dan penertiban.

Pada dasarnya spirit pemerintah menerbitkan PP Tanah Telantar sudah tepat yaitu untuk membagi secara merata kesempatan kepada masyarakat yang belum memiliki akses pertanahan.

Namun sekali lagi, perlu ada pengaturan yang rigid dan pengecualian untuk hal-hal yang menyangkut perumahan dan permukiman, khususnya yang mendorong perekonomian kawasan.

Memang sulit mengatur tanah telantar, Mengingat hampir 11 juta hektare tanah telantar di seluruh Indonesia tidak bisa diidentifikasi dan dilakukan manajemen aset secara baik.

Lahan tersebut tersebar di seluruh pelosok Nusantara notabenenya adalah lahan untuk perkebunan, kehutanan dan pertanian.

Khusus untuk lahan telantar sektor perumahan-terutama yang berada di kota-kota besar-penertiban harus memiliki petunjuk teknis yang tepat. Sebab tanah-tanah yang akan dikembangkan-sebagai bagian dari rencana besar proyek kota mandiri-bisa menjadi terhambat karena aturan ini.

Cara mengaturnya adalah dengan mengevaluasi rencana proyek dari site plan yang sudah ada, agar rencana tersebut benar-benar akan dilaksanakan. Apa lagi, pengembangan kawasan akan memiliki efek domino terhadap perekonomian sekitar.

Pengawasan memang tetap perlu dilakukan oleh pemerintah menyangkut keseriusan pengembangan kawasan. Jika perlu, ada dateline waktu yang menegaskan bahwa untuk pengembangan kawasan mandiri diberi tenggat 10 tahun -15 tahun. Jika tidak terealisasi, maka lahan tersebut akan diambil oleh pemerintah tanpa ada kompensasi.

Selain pengembangan kawasan, yang perlu diperhatikan adalah lahan-lahan terlantar di kota-kota besar. Penggarapannya harus menyisihkan space untuk kepentingan publik dan ruang terbuka hijau (RTH) yang mencukupi.

Hal ini penting untuk mendorong lahirnya kawasan baru yang sehat dan produktif, sekaligus untuk melahirkan proses sosial yang lebih baik.

Penertiban tanah telantar memang dapat meningkatkan pendapatan negara. Namun jika tanah telantar tidak dioptimalkan untuk meningkatkan kualitas nilai kawasan, maka akan sulit mendapatkan hasil yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, prinsip pembangunan berkelanjutan dan aset manajemen yang tertata rapi menjadi opsi yang tidak bisa ditolak lagi.

Terimakasih,
Jakarta, 5 Mei 2010

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia edisi 23 April 2010
mohon masukan, kritik dan saran.

Mar 11, 2010

Menanggulangi Krisis Rumah TNI

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Krisis rumah dinas TNI hingga berujung penertiban beberapa waktu lalu telah memunculkan dua masalah pokok yaitu; masalah kurangnya pasokan rumah bagi prajurit TNI, dan masih adanya rumah dinas TNI yang digunakan oleh orang yang tidak berhak. Dari kedua masalah tersebut lalu muncul masalah minimnya anggaran untuk menyediakan kebutuhan rumah bagi prajurit tersebut.

Selain itu ada gagasan perlunya terobosan dengan menyerahkan urusan rumah TNI kedalam Kementerian Perumahan Rakyat. Gagasan tersebut cukup maju, namun tetap perlu dicarikan solusi jangka pendek. Mengingat peralihan wewenang penyediaan rumah tidak semudah yang dipikirkan.

Sebagai solusi jangka pendek Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI perlu menyiapkan penempatan sementara penghuni rumah dinas TNI dengan limit waktu tertentu. Dengan adanya relokasi tersebut penghuni yang tidak siap untuk pindah akan ada pilihan tempat tinggal. Dengan begitu tidak ada alasan lagi bagi penghuni rumah dinas TNI tetap bertahan di rumah dinas yang bukan haknya. Sebaiknya pengosongan juga dilakukan dengan cara-cara yang lebih persuasif.

Krisis rumah prajurit ini seharusnya tidak terulang lagi, persoalannya tidak semata soal minimnya anggaran. Jika Kementrian Pertahanan dan Mabes TNI memiliki sistem yang jelas dan tegas dalam pelaksanaannya, tidak akan ada kasus penertiban secara paksa bagi penghuni rumah dinas TNI.

Seringkali adanya kelonggaran yang diberikan kepada penghuni rumah dinas ini disalah artikan dan pada akhirnya terjadi polemik yang berkepanjangan. Supaya tidak terulang lagi kisruh rumah dinas TNI ini maka perlu ada evaluasi menyeluruh mengenai sistem penempatan rumah dinas dan data prajurit yang membutuhkan rumah.

Sistem penempatan rumah dinas ini memang sudah diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Pembendaharaan Negara. Namun sebagai institusi yang sudah mandiri TNI bisa menyiapkan sistem tersendiri yang tujuannya adalah untuk merumahkan seluruh prajurit dengan layak dan terjangkau.

Sebagai langkah awal untuk menciptakan sistem penyediaan rumah bagi prajurit adalah dengan pembaharuan data mengenai prajurit aktif yang belum memiliki rumah dan para purnawirawan yang menempati rumah dinas. Khusus bagi prajurit aktif, sedini mungkin bisa diberikan kemudahan untuk mendapatkan rumah dengan cara mencicil melalui fasilitas Bank penyedia KPR. Sedangkan bagi purnawirawan bisa disesuaikan dengan kemampuan mengangsur cicilan rumah yang dijual secara sosial.

Semua proses itu tentunya harus didukung oleh manajemen aset TNI sebagai cost of capital penyediaan rumah bagi prajurit tersebut. Manajemen aset ini penting untuk menilai kemampuan dalam menyediakan seluruh kebutuhan juga sebagai referensi untuk menjalin berbagai bentuk kerjasama. Mengingat TNI memang harus diakui kekurangan dana penyediaan rumah ini karena sebagai besar dana habis untuk peralatan danperbaikan Alutsista. Disisi lain TNI juga memiliki banyak aset tanah tetapi stastusnya masih belum jelas. Sehingga seluruh aset TNI tersebut harus dilegalkan secara hukum baik berupa sertifikat Hak Guna Bangun/Hak Pakai Lahan untuk dipilih menjadi perumahan.

Proses legalisasi ini memang akan banyak menimbulkan persoalan selain membutuhkan biaya cukup tinggi juga terkait status aset adalah tanah negara yang sifatnya eksklusif. Namun sebagai langkah alternatif Pemerintah sebaiknya berani mengambil resiko dan bekerja secara profesional agar implikasi negatif tersebut bisa diminimalisir.

Untuk menghindari aktifitas bisnis TNI yang sudah diamputasi sejak reformasi. dalam hal pelaksanaan penyediaan rumah ini, Kementerian Pertahanan bisa mengambil alih tugas penyediaan rumah ini secara profesional. Dalam prosesnya tetap perlu ada prinsip kehati-hatian, mengingat setiap kali membentuk sebuah institusi bisnis, moral hazard oknum tertentu seringkali merusak semua rencana besar yang ada.

Setelah menilai seluruh potensi yang dimiliki, selanjutnya Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI bisa melakukan terobosan pemilikan rumah bagi para prajurit aktif dengan cara mempermudah proses bantuan uang muka untuk proses kredit pemilikan rumah (KPR) melalui Yayasan Kesejahteraan
Perumahan Prajurit (YKPP) dan Asabri. Yang paling pokok nilai KPR ini sifatnya khusus yaitu tidak sama dengan KPR pada umumnya. Sehingga Bank penyedia KPR harus betul-betul memperhatikan kondisi finansial para prajurit. Dengan adanya kekhususan tersebut baik dari segi Bank maupun harga jual rumah dari pengembang. Para prajurit akan mendapatkan rumah yang layak dan terjangkau.

Selain itu, kerjasama dengan pihak swasta merupakan pilihan yang tidak bisa lagi ditawar, mengingat minimnya anggaran yang dimiliki. Kerjasama ini bisa berbentuk joint operation (KSO), kerjasama bagi hasil, kerjasama pembangunan. Jika menilik data yang disampaikan Kementerian Pertahanan terjadi ketimpangan pasokan dan kebutuhan yaitu sekitar 44 persen atau sebesar 159.704 unit dari total pasokan sekitar 357.874 unit.

Maka kebutuhan rumah ekuivalen dengan ketersediaan lahan sekitar 2000 Ha. Dengan nilai investasi bisa mencapai Rp 100 Milyar untuk penyediaan tanah. Angka tersebut masih perlu disesuaikan mengingat harga tanah disetiap lokasi berbeda. Secara teknis Kementerian Pertahanan membutuhkan sekitar Rp 1 Tryliun untuk membangun rumah bagi prajurit yang belum memiliki rumah. Dana tersebut mau tidak mau harus diambil dari pihak ketiga.

Proses penyediaan rumah prajurit ini sebetulnya pada tahun 2015 bisa sudah selesai. Jika dari sekarang pihak terkait melakukan kordinasi dalam menciptakan sistem yang tepat. Termasuk dalam jangka panjang untuk mengalihkan wewenang perumahan kepada Kementerian Perumahan Rakyat.

Namun perlu diperhartikan peralihan wewenang ini sifatnya bukan operasional melainkan analisa dan kebijakan. Sedangkan operasionalnya, menurut hemat penulis perlu ada badan khusus yang menangani perumahan TNI dengan program utamanya adalah mengawal seluruh proses penyediaan rumah, mulai dari pendataan, inventarisir, dan inisiatif kerjasama hingga pilihan kebijakan yang bisa ditawarkan kepada departemen atau instansi terkait. Dengan begitu prosesnya, akan meminimalisir kembalinya TNI kepada aktivitas bisnis.

Terimakasih,
Jakarta,11 Maret 2010

*Artikel ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia edisi 2 Maret 2010

Feb 9, 2010

Pasang Surut Bisnis Perkantoran

Oleh : Ilham M Wijaya

Mungkin tidak banyak yang tahu pengembangan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta pada tahun 1970- 1980-an awalnya tidak untuk memenuhi permintaan ruangan bagi perusahaan, melainkan untuk meningkatkan pamor Indonesia di mata dunia bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang terus membaik.

Seiring perjalanannya, gedung-gedung perkantoran di Jakarta terus bermunculan. Tetapi kali ini benar-benar karena demand yang tinggi. Kondisi pertumbuhan ekonomi terus membaik, maka pada era 1990-an Jakarta sudah disesaki oleh gedung-gedung pencakar langit yang baru.

Perkembangan bisnis properti terutama perkantoran mengalami pasang surut, hal ini dikarenakan kondisi ekonomi Indonesia masih belum stabil. Kondisi keemasan bisnis perkantoran sebetulnya terjadi pada tahun 2007 dimana semua pengembangan perkantoran berhasil mendapatkan keuntungan yang tinggi dari sales and leases, okupansinya rata-rata mencapai 90 %-100%.

Memasuki tahun 2010, bisnis perkantoran diprediksi akan mengalami peningkatan. Kondisi ini didasari oleh semakin membaiknya kondisi perekonomian nasional. Juga karena beberapa pasokan perkantoran yang tahun lalu masih belum beroperasi optimal. Pada tahun 2010 ini mulai dipasarkan dan diserap pasar.

Optimisme dalam bisnis perkantoran tersebut memang cukup beralasan. Namun tetap perlu kehati-hatian. Mengingat fakta di lapangan supply ruangan perkantoran di prime area seperti di kawasan CBD Sudirman – Thamrin terjadi sebaliknya. Ada beberapa gedung perkantoran yang mengalami gagal jual. Sehingga okupansinya sangat rendah, akibatnya gedung tersebut mengalami kebangkrutan. Rata-rata gedung tersebut adalah gedung lama, seperti terjadi di Gedung Landmark Sudirman dan beberapa gedung di daerah Thamrin yang sudah mulai ditinggalkan tenant-nya.

Kondisi ini tidak hanya terjadi pada pasokan lama, melainkan bisa juga terjadi pada pasokan baru. Berbagai proyek perkantoran di Jakarta seperti; Plaza Mutiara, Plaza Thamrin, Pluit Office Park, The East dan Menteng Office, Sentral Senayan 2, dll. Jika diperhatikan ada beberapa kondisi eksisting yang tingkat huniannya malah dibawah 50% padahal proyek tersebut adalah proyek baru yang sudah selesai topping off. Sehingga bisa dipastikan kondisi over supply ini mengakibatkan cash flow pengembang menjadi terganggu dan pada akhirnya akan mengalami kerugian yang signifikan.

Namun jika melihat proyek yang lain seperti; Menara Energy, Menara Tavalera, Pacific Place Office kondisinya malah berbeda jauh sekali, tingkat hunian langsung mencapai 100% setelah launching dan topping off. Sehingga pengembang perkantoran mendapat laba maksimal dari tenant yang menyewa ruangan tersebut.

Kedua kondisi tersebut sebetulnya masih dipengaruhi oleh persaingan dengan perkantoran yang sudah eksisting lama, dari segi lokasi dan fasilitas juga cukup lengkap. Perkantoran eksisting ini dibagi dua; ada yang memiliki tenant group yang sudah meneken kontrak dalam beberapa tahun dengan pemilik gedung, ada juga perkantoran lama yang hanya mengandalkan perusahaaan baru dan yang kecil untuk menyewa ruangannya.

Dari keduanya sebetulnya okupansinya masih tetap bagus yaitu bisa diatas 70%. Karena memang kebutuhan space perkantoran masih tinggi. Tetapi jangan salah dari kedua karakter tenant perkantoran tersebut, ada salah satunya yang mengalami kebangkrutan alias okupansinya rendah.
Jika ditelisik penyebabnya beragam, ada yang karena perpindahan tenant besar secara mendadak, ada juga yang memang tidak ada peminat sama sekali sehingga space ruangkan perkantoran tersebut menjadi kurang optimal. Akibatnya semakin lama akan semakin memunculkan image perkantoran tersebut menjadi kurang baik. Untuk memperbaiki kondisi seperti ini tentunya perlu langkah yang sistematis dan serius dengan cara membenahi dari awal konsep pengembangan dan mengupayakan strategic marketing yang baik, terutama dalam mengakses holding company yang mau menyewa space perkantoran tersebut. Sehingga okupansinya akan cepat merangkak naik.

Selain itu perlu diperhatikan dalam proyek perkantoran baru. Memilih momentum pada saat launching harus tepat. Karena menyangkut okupansi pada saat pertama kali dioperasikan. Jika pada saat pertama kali dioperasikan perkantoran tersebut kurang ramai. Maka selanjutnya akan mengalami kesulitan untuk meningkatkan tingkat huniannya. Hal lain yang juga sangat penting perlu diperhatikan adalah proyek perkantoran harus sudah memiliki list order delivery dari para tenant sebelum launching. Sehingga ada kepastian bahwa tenant tersebut tidak akan lari setelah proyek perkantoran tersebut sudah selesai dibangun.

Semua strategi marketing harus diupayakan untuk mendapat tenant mix yang tetap dan menyewa dalam jangka waktu lama. Untuk space jual pengembang perkantoran bisa melakukan strategi penjualan dengan menjual space yang dianggap tidak strategis seperti berada di lantai dasar dan menengah, untuk lantai atas dan penthouse biasanya disewakan karena biasanya tenant banyak yang mencari space dilantai paling atas untuk menjaga privasi dan prestise bisnisnya.

Namun demikian jika kondisi penjualan perkantoran masih belum optimal karena para tenant yang gagal sewa atau karena kurangnya peminat dari perusahaan lain. Opsi pemilik gedung ada dua yaitu; menjual/akuisisi gedung dengan harga dibawah standar kepada para holding company yang membutuhkan space ruangan besar atau yang kedua dengan cara memberikan special rates untuk menarik minat tenant perusahaan-peruisahan baru. Biasanya cara ini akan berhasil mendongkrak tingkat hunian hingga 50 % dan sifatnya hanya sesaat. Karena perusahaan baru biasanya akan mengalami instabilitas dalam usahanya. Sehingga kondisinya tidak merubah posisi tingkat hunian yang optimal.

Untuk itu agar setiap perkantoran tetap mendapatkan yield yang baik dari para tenant, perlu ada hal-hal yang diperhatikan diantaranya; perencanaan yang matang, fasilitas gedung yang baik, kondisi design/bangunan yang terawat, services kepada tenant juga ditingkatkan. Dengan demikian akar masalahnya bisa diselesaikan apabila setiap pengembang perkantoran bisa melakukan inovasi dan selalu meningkatan kualitas produknya, serta didukung oleh Building Management yang paham terkait oreintasi pengembang. Sehingga setiap tujuan pengembang perkantoran untuk menciptakan produknya agar unggul dan bersaing akan tercapai.

Terimakasih,

Jakarta, 2 Februari 2010
Mohon saran dan masukan bisa ke: proilham@gmail.com

* Dimuat di Harian Bisnis Indonesia edisi Sabtu, 6 Februari 2010

Jan 12, 2010

Membangun Kota Yang Adil

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Menjadi warga perkotaan memang menjadi keinginan tersendiri bagi kebanyakan orang. Sehingga tidak heran jika fenomena urban terjadi hampir diseluruh pelosok negeri. Kondisi ini sebetulnya sudah terjadi sejak jaman dahulu, ketika era industrialisasi di Inggris dicanangkan pergerakan warga dari desa-desa menuju pusat industri sudah terjadi. Banyak orang berharap dapat hidup layak di kota, padahal kondisinya tidak semuanya benar. Pandangan banyak orang tersebut telah menjadi salahsatu penyebab terjadinya obesitas perkotaan.

Betapa beratnya beban kota-kota besar di Indonesia, menurut data kependudukan tingkat urbanisasi penduduk setiap tahunnya meningkat hampir 54 %. Angka ini tentunya sangat tinggi, Jika tidak ada penanganan pengelolaan kota yang terpadu, kondisi perkotaan akan semakin kacau dan tidak terkedali, kota akan mengalami kehilangan fungsinya sebagai ruang berinteraksi masyarakat secara harmonis dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Semrawutnya tataruang kota-kota besar di Indonesia disebabkan oleh tidak adanya sinergi pengelolaan tataruang dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk. Walaupun tidak bisa disederhanakan, keterkaitan dua penyebab itu menjadi pokok perhatian dalam mengelola perkotaan.

Fenomena urban ini terjadi di seluruh dunia. Namun dalam penyikapannya di beberapa Negara penanganannya cukup baik. Lihat saja misalnya di Bogota Ibukota Colombia, walaupun masyarakat urban disana cukup banyak. Pengendalian sosial dan pengaturan sarana prasarana disana relatif lebih baik khususnya masalah transportasi. Berbeda halnya dengan di Indonesia. Kota-kota besar seperti; Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung dan lainnya semakin tidak tertata dengan rapih. Hal inilah yang mengkhawatirkan banyak kalangan, di masa mendatang kota-kota besar itu akan mengalami ‘obesitas’ yang berbahaya bagi kelangsungan sebuah kota.

Urban manager
Membangun kota yang harmonis perlu diawali oleh visi pemimpin kota sebagai urban manager yang paham mengenai kota yang dipimpinnya. Di Amerika Serikat seorang walikota biasanya memiliki tim khusus yang memberikan advice kepada pimpinan terkait urban management. Walikota tersebut bertindak sebagai urban manager yang paham mengenai kondisi kawasannya. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan selalu mengacu pada kapasitas kawasan tersebut.

Berbeda dengan di Indonesia, pemimpin daerah seringkali membangun kota tanpa pengetahuan yang memadai. Sehingga setiap kebijakannya mendahulukan pendapatan daerah atau PAD daripada memperhatikan keberlanjutan pembangunan.

Kalau kita cermati fenomena pembangunan di kota-kota besar seperti; pembangunan pusat perbelanjaan di perempatan jalan yang menyebabkan kemacetan tak terurai. Pengembangan kawasan perumahan terpadu yang berada diarea hijau sehingga kondisi air tanah terganggu dan daerah sekitarnya menjadi banjir, pengadaan trayek moda transportasi yang seringkali berlebihan sehingga menimbulkan kemacetan, serta permukiman yang sesak akibat tidak diatur sedemikian rupa. Merupakan problem yang hampir merata disemua daerah.

Realitas tersebut jika diurai lebih jauh muaranya adalah kebijakan pemerintah didaerah tersebut yang tidak memiliki visi sebagai urban manager. Sehingga kurang memikirkan dampak dikemudian hari. Selain itu faktor ekonomi yang dominan menjadi alasan untuk terus mengeksploitasi kota kepada pasar agar lebih bernilai materi. Implikasi secara sosial warga kota yang tidak siap bersaing harus siap berada dipinggiran kota.

Potret Jakarta sekarang ini bisa menjadi contoh, warga perkotaan yang siap bersaing, memiliki modal akan berada ditengah kota. Sedangkan warga yang sulit bersaing akan terpinggirkan dan berada dipinggiran kota.

Jikalau persaingan itu sehat, mungkin bisa saja dibiarkan oleh pemerintah. Namun seringkali persaingan di perkotaan tidak sehat, faktor kepemilikan modal yang dominan telah meminggirkan warga kota yang lainnya. Disinilah sebetulnya peran urban manager dalam mengatur kota yang memiliki keadilan bagi semua pihak.

Pembangunan di wilayah kota seperti halnya pembangunan kawasan terpadu (super block developement) yang sekarang ini marak di kota-kota besar dengan berbagai icon proyek, seperti di Jakarta; Kuningan City, Ciputra World, Kemang Village, CBD Pluit, dll. Seolah memberikan kesan bahwa kota adalah kawasan yang identik dengan kawasan elit. Bagi warga kota yang tidak memiliki kemampuan materi untuk menetap di kawasan tersebut, dianggap menjadi warga kota nomor dua. Selain karena terpinggirkan karena tempat tinggalnya tergerus proyek, warga kota yang tidak memiliki akses ini sulit bersaing dengan yang lainnya.

Jika dibiarkan oleh urban manager dalam hal ini pemerintah, maka dikemudian hari warga di kota-kota besar adalah warga yang memiliki kemampuan finansial besar, sedangkan warga lainnya akan terus terpimggirkan. Oleh karena itu penting sekali mengatur pola pembangunan agar terjadi harmonisasi yang memberikan keadilan bagi semua warga untuk hidup ditengah kota.

Untuk mengatur pola pembangunan kota yang berkeadilan tersebut memang tidak mudah, tetapi bisa dilakukan dengan cara yang bertahap, seperti; meminta setiap pemilik proyek diperkotaan khususnya kawasan superblok, agar memberikan ruang bagi masyarakat sekitar untuk bisa hidup secara bersama-sama.

Seringkali perkampungan warga disekitar proyek di batasi dinding yang tinggi, kemudian kalaupun diberi ruang kesan ekslusif begitu kentara. Seharusnya pemilik proyek memikirkan bagaimana melakukan harmonisasi perkampungan tersebut dengan desain atau tataruang proyeknya, sehingga saling mendukung dan bisa hidup berdampingan. Inilah konsep kota yang sebenarnya, memberikan keadilan bagi semua orang untuk hidup harmonis.


Terimakasih,
Jakarta, 12 Jan 2010

NB : mohon tanggapan dan masukan tulisan ini ke proilham@gmail.com

Jan 4, 2010

Agar Tidak Kebliger dengan Strata Tittle

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Konsumen hunian vertikal ketika akan membeli produk Rusunami atau Apartemen kebanyakan akan bertanya-tanya mengenai konsep strata title, karena tidak semua konsumen mengerti. Mengingat pembelian unit pada hunian vertikal berbeda status kepemilikannya dengan landed houses. Sehingga sebelum membeli produk hunian vertikal. Konsumen harus memahami mengenai status kepemilikannya pada hunian vertikal.

Pada hunian vertikal istilah hak milik dikenal dengan strata tittle. Perbedaannya dengan hak milik pada landed houses, pada hunian vertikal hak milik itu ada pada unit yang dibeli konsumen sesuai luasan bangunan yang tertera pada pembelian awal, tidak seluruh bangunan vertikal itu. Sedangkan untuk landed houses kepemilikan melingkupi seluruh bangunan dan tanah.

Namun demikian akan muncul masalah lagi, jika Developer yang membangun hunian vertikal tersebut, membangun diatas tanah bukan status hak milik (SHM). Melainkan Hak Guna Bangunan (HGB) yang jangka waktunya tertentu. Sehingga status kepemilikan unitnyapun disesuaikan dengan masa HGB induk tersebut. Inilah yang seringkali luput dari perhatian konsumen. Sehingga konsumen harus mengurus perpanjangan hak milik tersebut setelah masanya habis.

Sebetulnya perpanjangan status kepemilikan itu bukan masalah krusial, karena setiap produk properti pada masa tertentu memang harus diperpanjang status kepemilikannya. Misalnya saja penguasaan atas tanah, maksimal 60 tahun harus ada pembaharuan status kepemilikan. Apalagi jika berada diarea yang akan dikembangkan untuk fasilitas umum. Statusnya akan berubah cepat.

Begitu juga, jika ada produk properti yang dibangun ditanah HGB dengan masa waktu 30 tahun kemudian harus ada perpanjangan. Hal itu bukan masalah utama, karena bisa diperpanjang dengan proses yang sekarang ini sudah semakin baik. Namun memang kendalanya di masyarakat kita masih kuat asumsi mengenai hak milik lebih aman dibanding hak milik diatas HGB. Sehingga banyak hunian vertikal yang berada pada HGB penjualannya tidak sebagus yang berada diatas SHM.

Disinilah sebetulnya peran Developer untuk mensosialisasikan pada konsumen, bahwa status kepemilikan hunian vertikal yang tidak berada di atas SHM tidak akan menjadi masalah dikemudian hari. Karena hal ini didukung oleh peraturan yang ada.
Strategi pemasaranpun perlu dikelola dengan baik. Karena menjual unit pada hunian vertikal yang berada pada status tanah HGB, biasanya mengalami banyak masalah. Dari mulai isu miring seputar ketidak-jelasan status tanah, hingga kepemilikan yang tidak aman jika membeli produk properti tersebut.

Di Jakarta sekarang ini banyak hunian vertikal seperti; Rusunami yang dibangun diatas tanah HGB. Rata-rata konsumen belum memahami mengenai konsekuensi dari status itu. Walalupun unit terjualnya cukup tinggi, dikhawatirkan Developer tidak mempedulikan status kepemilikan tersebut. Sehingga banyak konsumen yang kebingungan.

Seharusnya Developer juga bisa membantu konsumen dengan menjelaskan mengenai sistematika status kepemilikan tersebut. Selain perlu juga ada usaha dari Developer untuk meningkatkan status kepemilikan tersebut menjadi hak milik penuh.

Konsep strata tittle ini memang menimbulkan banyak interpretasi. Karena aturan hukumnya belum komprehensif. Beberapa peraturan tentang rumah susun tersebut termaktub dalam UU No.16 /1985 tentang Rumah Susun dan PP No. 4/1988. Dalam peraturan tersebut ketentuan rumah susun berlaku juga bagi Apartemen dan perkantoran.

Melihat aturan yang ada dari mulai definisi dan lingkup aturan tersebut. Masih perlu ada perbaikan yang lebih komprehensif. Kepemilikan yang berada pada aturan tersebut subtansinya perseorangan, dan hunian vertikal bisa diartikan perkatoran, rumah susun dan gedung lainnya. Sehingga dari penyeragaman itu, dalam implementasinya menuai banyak masalah. Perkantoran tidak bisa disamakan dengan rumah susun, begitu juga gedung berbeda dengan rumah susun karena pengelolaannya memang berbeda.

Untuk menghidari hilangnya hak terhadap unit yang dibeli konsumen atas unit hunian vertikal second, maka secepatnya konsumen harus merubah nama kepemilikan. Sehingga kewenangan pembeli tidak diabaikan dalam proses penentuan kebijakan pada saat penentuan kewajiban penghuni atau pengelola gedung.

Status kepemilikan strata tittle pada hunian vertikal, selama proses pembelian dari akad yang terjadi semuanya dilaksanakan dengan aturan yang ada didukung oleh notaris properti yang paham. Proses akad jual beli produk properti tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Walaupun di Indonesia produk aturan untuk hunian vertikal masih perlu penyempurnaan. Bagi anda yang berniat investasi atau end user hunian vertikal, status strata tittle merupakan status kepemilikan yang aman dan bernilai investasi di masa-masa mendatang.

Terimakasih.

Mohon tanggapannya atas tulisan ini ke: proilham@gmail.com

* Tulisan ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia edisi 02 Januari 2010