Nov 19, 2007

Kenaikan Harga Minyak Mentah Dan Prospek Industri Properti

Oleh : Ilham M. Wijaya

Kenaikan harga minyak mentah Internasional telah memicu kekhawatiran semua kalangan, termasuk para pelaku bisnis properti. Kekhawatiran ini cukup beralasan karena lonjakan kenaikan minyak yang mendekati 100 Dollar AS per barrel akan mempengaruhi perekonomian terutama menyangkut kenaikan suku bunga dan tingkat inflasi secara nasional. Apabila kondisi ini tidak cepat pulih, maka kondisi industri properti akan kembali mengalami keterpurukan.

Padahal kalau kita lihat pada akhir kuartal tiga tahun 2007, pasokan produk properti subsektor apartemen dan kondominium di Jakarta berkembang cukup pesat, total kumulatif pasokan baru ini berjumlah 44.997 unit. Sedangkan daya serap pasar masih berkisar antara 60%-70%, kalaupun ada yang tingkat penjualannya sudah mendekati 90 %, proyek tersebut rata-rata dibangun dibawah tahun 2005. Untuk proyek baru yang tahap kontruksinya rata-rata dimulai tahun 2006 dan 2007, maka tantangan kedepan adalah kondisi makro ekonomi yang tidak menentu.

Proyek baru yang banyak bermunculan ini sebelumnya memang tidak memperhitungkan bakal terjadinya kenaikan minyak dunia. Karena kondisi perekonomian nasional sejak kuartal pertama tahun 2007 terus menunjukkan kinerja yang positif untuk investasi. Terbukti dengan menurunnya suku bank Indonesia dan meningkatnya kredit properti yang disediakan oleh perbankan, ditambah daya beli masyarakat juga sudah mulai membaik.

Beberapa pengamat memprediksi akan terjadi booming properti pada tahun 2010, karena diperkirakan pada tahun tersebut semua proyek properti sudah mulai beroperasi dengan asumsi harga jual meningkat tajam. Namun melihat kondisi sekarang ini, prediksi tersebut bakal meleset, melihat fakta kenaikan minyak dunia saat ini, bisa jadi industri properti akan mengalami resesi. Resesi ini akan dimulai dengan macetnya kredit properti, kemudian biaya proyek tinggi sedangkan daya serap pasar rendah karena daya beli masyarakat menurun serta harga produk properti baik sewa maupun jual berada pada posisi tetap. Kondisi inilah yang tidak menggairahkan kondisi industri properti.

Kenaikan minyak dunia ini memang disisi lain akan menguntungkan bagi Negara pengekspor minyak. Keuntungan ini bisa berlipat ganda apabila Negara tersebut mampu mengekspor minyak dalam skala besar. Indonesia yang dulu terkenal dengan Negara kaya minyak, sekarang sudah tidak bisa lagi menikmati booming harga minyak, karena investasi eksplorasi minyak di Indonesia sudah lama mengalami penurunan. Dari total kebutuhan minyak dalam negeri ternyata tidak mencukupi sehingga sisanya harus di import dari Negara lain.

Kenaikan harga minyak ini bukan hanya masalah ekonomi melainkan sudah masuk kepada masalah politik global, tanpa menafikan masalah itu. Harga minyak dunia sudah naik, apabila kenaikan ini berlangsung lama maka beban anggaran semua sektor produksi akan meningkat. Lain soal kalau kenaikan minyak dunia ini hanya berlangsung sesaat, kondisi perekonomian akan kembali membaik.

Dari sekian banyak fakta kondisi makro ekonomi Indonesia, pertanyaan kemudian bagaimana membuat strategi menghadapi kondisi makro ekonomi yang tidak menentu, agar industri properti bisa tetap eksis dan bisa menghasilkan keuntungan yang sempurna?. Pertanyaan inilah yang ada dalam benak pelaku bisnis properti.
Pelaku bisnis properti selalu memiliki kepekaan terhadap kondisi Perekonomian karena aktivitas bisnisnya akan berkaitan langsung dengan struktur ekonomi. Apabila kondisi perekonomian tidak cepat pulih maka solusi yang terbaik untuk mengamankan aset dan investasi di bidang properti adalah dengan cara mengalihakan investasi kebidang lain yang tentunya memenuhi syarat keamanan investasi dan memiliki nilai keuntungan yang besar.

Namun investasi di sektor properti ini tetap memberikan peluang untuk mendapat keuntungan maksimal, karena pada dasarnya investasi disektor properti bersifat jangka panjang, dengan catatan investasi di bidang properti itu memenuhi syarat legalitas hukum dan faktor lokasi investasi.

Dengan demikian persoalan yang dihadapi dunia properti saat ini harus dilihat sebagai siklus yang akan mengalami fluktuasi. Walaupun fluktuasi ini akan membunuh pelaku bisnis properti yang tidak memiliki kehandalan mengelola bisnis properti termasuk yang memiliki modal minim. Bagi yang handal maka persoalannya hanya masalah waktu untuk mendapat keuntungan. Artinya berpikir secara melingkar untuk berinvestasi dibidang lain yang masih memiliki tingkat keamanan investasi dan prospektif adalah langkah yang tepat untuk dilirik oleh para pelaku bisnis properti.


Jakarta, 19 Nopember 2007

Nov 2, 2007

Program 1000 Menara Rusun Efektifkah!

Oleh: Ilham M. Wijaya

Ide pembangunan rumah susun sedehana (Rusunawa) berawal dari keinginan pemerintah menata ruang pemukiman di perkotaan, juga untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat menengah bawah. Seiring semakin meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan tempat tinggal diperkotaan cukup tinggi.

Pembangunan Rusun ini adalah solusi yang realistis untuk mengatasi masalah pemukiman penduduk di perkotaan. Mengingat luas lahan di perkotaan sangat terbatas sedangkan jumlah penduduk terus bertambah. Tetapi hal itu tidak akan bertahan lama. Persoalan pemukiman penduduk ini akan kembali terjadi. Karena pembangunan Rusun dengan subsidi dari Pemerintah seringkali beralih fungsi menjadi rusun komersil yang diperjualbelikan. Sehingga warga yang sebagai pemilik kembali kepemukiman lama. Inilah dilema dari program rusun di Jakarta.

Pengalaman pembangunan Rusun di Jakarta pada tahun 1980-an. Awalnya ingin membenahi tata ruang kota yang semrawut dari pemukiman penduduk. Namun yang terjadi Rusun-rusun tersebut malah sudah beralih fungsi. Misalnya; Rusun Kebon Kacang, sekarang sudah menjadi pemukiman kelas atas menengah karena lokasinya dekat dengan pusat bisnis Thamrin. Rusun di Tebet yang berasal dari penggusuran di kawasan Senayan sekarang dihuni oleh kalangan menengah-atas.

Peralihan fungsi ini disebabkan oleh banyak hal diantaranya; pertama, biaya sewa dianggap warga memberatkan, sehingga warga memilih untuk menjual unit Rusun tersebut kepada pihak lain. Kedua, Motivasi warga dari awal ingin memperjualbelikan unit Rusun tersebut agar mendapat keuntungan. Ketiga, warga tidak terbiasa tinggal di Rusun yang desain bangunannya gedung bertingkat. Dari sekian banyak penyebab terjadinya peralihan fungsi tersebut, kalau dilihat akar masalahnya adalah mengenai sentralisasi pusat bisnis di Jakarta yang telah berdampak pada masalah kesenjangan ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu muncul persoalan tata ruang dan wilayah.
Penyelesaian masalah sektor pemukiman di Jakarta dengan membangun Rusun hanyalah bersifat sementara. Artinya pembangunan Rusun tetap akan menyimpan masalah dikemudian hari. Oleh karena itu apabila pemerintah ingin betul-betul menyelesaikan tata ruang di Jakarta secar integratif, sebaiknya pemerintah mengkaji ulang konsep pembangunan daerah penyangga ibukota. Atau dalam wacana yang pernah digulirkan Sutiyosa yaitu Megapolitan, patut mendapat perhatian.

Dilema pembangunan Rusun ini sudah pasti disadari oleh Pemerintah. Tetapi karena kebutuhan pemukiman mendesak bagi warga berpenghasilan rendah. Pemerintah mengambil kebijakan sesuai skala prioritas yaitu menyelesaikan masalah pemukiman dengan membangun Rusun. Dengan segala keterbatasannya, pemerintah ingin memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakatnya. Karena membangun konsep tata ruang baru yang benar-benar mengubah semua tata letak dan kawasan di Jakarta membutuhkan biaya yang besar.

Namun yang perlu menjadi perhatian semua pihak, insentif pajak bangunan yang diberikan pemerintah kepada para pengembang dalam membangun 1000 menara Rusun, harus diikuti oleh pengawasan yang intensif agar tujuan membenahi pemukiman ini bisa tercapai. Karena pengembang seringkali tidak memperhatikan faktor pembangunan berkelanjutan yang berdimensi sosial. Untuk itu Rusun yang sudah dan akan dibangun harus diawali dengan memorandum of understanding (MoU) untuk tidak mangkir dari tujuan mulia membangun Rusun ini.

Begitu pula dengan penghuni Rusun kelak, para pemilik tidak diperkenankan memperjualbelikan unit Rusun tersebut kepada pihak lain, adanya limit waktu kepemilikan bagi warga yang menetap di kawasan rusun, warga yang berhak menetap di rusun tersebut adalah warga menengah bawah. Peraturan tersebut harus ditegaskan oleh pemerintah melalui legalitas hukum. Sehingga penyimpangan yang terjadi baik yang dilakukan oleh pengembang atau pemilik unit Rusun dapat ditindak sesuai hukum.
Peraturan mengenai pengelolaan Rusun ini dari segi konsep bisa jadi sudah komprehensif, tetapi implementasi di lapangan masih jauh dari harapan.

Sehingga Rusun tersebut perlahan berubah fungsi. Untuk menangani masalah ini Pemerintah harus segera membuat langkah-langkah yang lebih progresif agar kejadian sebelumnya tidak terulang kembali. Pembentukan Badan Khusus untuk menangani Rusun merupakan langkah solutif agar masalah-masalah yang terjadi sejak perencanaan sampai pengelolaan kawasan Rusun ini bisa ditangani secara terpadu dan fokus oleh sebuah badan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat secara profesional.

Walaupun inisiatif ini akan mengeluarkan anggaran Negara. Tetapi fungsi dan manfaatnya dapat dirasakan dikemudian hari. Program pembangunan Rusunawa jangan sampai hanya sekedar membangun tanpa memperhitungkan efektifitas dari program tersebut. Apalagi kalau program ini ternyata disengaja untuk menguntungkan segelintir orang dengan mendapat proyek pembangunan. Untuk itu yang terpenting adalah adanya keseriusan dan tanggung jawab semua pihak untuk membangun konsep pemukiman yang beroreintasi kepada pemenuhan kebutuhan tempat tinggal masyarakat kelas menengah bawah secara integratif dan profesional.

Jakarta, 6 September 2007