Jul 7, 2008

Alternatif Pengembangan Sektor Perumahan

Oleh Ilham M. Wijaya, SE

Beberapa waktu lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan pembebasan biaya pajak untuk kelas rumah sederhana sehat (RSh). Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 80 Tahun 2008 ini, sedikit banyak memberikan angin segar bagi tumbuhnya sektor perumahan.

Mengapa demikian? Dengan adanya pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN), maka harga jual unit RSh akan menjadi lebih murah. Karena biasanya para pengembang menaikkan harga jual unit RSh akibat pajak yang ditetapkan pemerintah. Dari sisi konsumen pembebasan pajak ini cukup menguntungkan karena konsumen pada segmentasi produk ini daya belinya rendah. Bagi pengembang pembebasan pajak ini diharapkan mampu mendongkrak daya serap penjualan unit RSh.

Namun tidak berarti persoalannya selesai, persoalan di sektor perumahan begitu kompleks terutama menyangkut masalah perijinan dan perpajakan. Sehingga banyak pengembang yang kesulitan melakukan pengembangan perumahan. Misalnya saja untuk mengembangkan perumahan disuatu kawasan pengembang perlu mengeluarkan banyak biaya untuk mengurus perijinan mulai dari perijinan membangun (IMB), legalitas pertanahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN), pajak BPHTB, PPN, PPH, sampai perijinan untuk aliran listrik dari PLN, penyediaan Faslitas Umum dan Fasilitas sosial.

Padahal sejatinya penyediaan fasilitas umum dan sosial itu merupakan tanggung jawab pemerintah. Tetapi karena kondisi pemerintah juga tidak memiliki anggaran cukup untuk membangun fasilitas tersebut. Sehingga banyak pengembang berinisiatif menyediakan fasilitas tersebut dengan harapan produk yang dibangun dapat dijual cepat dengan harga tinggi.

Apabila kondisi ini berlarut-larut, maka efeknya akan berpengaruh pada harga jual rumah yang terus akan berada di kisaran tinggi. Sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tidak dapat menjangkaunya.

Peran Pemerintah
Melihat kondisi tersebut, pemerintah hendaknya mengambil inisiatif untuk membuat paket kebijakan satu atap terkait pengembangan sektor perumahan rakyat ini. Selama ini birokrasi yang panjang dan berbelit seringkali menyulitkan para pelaku bisnis perumahan. Bisnis perumahan menjadi tidak menarik lagi bagi investor. Karena biaya pengembangan high cost. Sedangkan margin keuntungan yang didapat sangat tipis.

Selain itu, dari segi kelembagaan kebijakan pembangunan perumahan rakyat sekarang ini hanya bertumpu pada Kementerian Negara Perumahan Rakyat. Dimana peran Kementerian Negara sangat terbatas, ia tidak memiliki kebijakan operasional sampai ketingkat daerah.

Idealnya Kementerian yang membidangi perumahan rakyat ini memiliki kewenangan operasional. Berbentuk Departemen Perumahan dan Pemukiman yang memiliki perwakilan didaerah. Dengan struktur seperti itu, kebijakan yang berasal dari pusat bisa langsung diimplementasikan oleh daerah sekaligus juga sebagai strategi pemerintah agar fokus memperhatikan masalah kebutuhan perumahan rakyat.

Kalau saja pemerintah memiliki political will, Kemenpera bisa menggunakan cara-cara lama yang pernah diterapkan pada era orde baru. Dimana Kementrian Perumahan Rakyat memiliki kewenangan operasional sehingga pembangunan perumahan selalu memenuhi target.

Berdasarkan riset lembaga Property Research Institutes (PRI) pada pemerintahan rezim Orde Baru dengan segala kekurangannya, pembangunan RS/ RSS bisa terealisasi sebanyak rata-rata 100.000 unit per tahun. Bahkan selama lima tahun terakhir pemerintahan Orde Baru (1993-1998), pembangunan RS/RSS mencapai angka 680.000 unit. Bahkan pada tahun 1997, saat krisis moneter mulai melanda Indonesia, pembangunan RS/RSS bisa mencapai 188.650 unit.

Sedangkan pada era reformasi munurut survey PRI, pembangunan RSh mengalami pasang surut pada tahun 2002 sebanyak 25.900 unit. Lalu, pada tahun 2003 realisasi pembangunan RSH naik sedikit menjadi 32.500 unit, 2004 turun menjadi 31.125 unit, tahun 2005 naik menjadi 63.714 unit, 2006 mengalami kenaikan menjadi 78.194 unit dan pada tahun 2007 kondisinya lebih baik yaitu sebanyak 122.811 unit.

Fluktuasi tersebut dipengaruhi oleh pola kebijakan subsidi pemerintah terhadap sektor perumahan, selain itu juga dampak dari perekonomian nasional yang belum sepenuhnya membaik. Terlepas dari itu semua masalah utamanya terletak pada kemampuan pemerintah memberikan subsidi kepada sektor perumahan.

Pertanyaannya sekarang, ditengah keterbatasan anggaran dan utang pemerintah yang menumpuk, bagaimana caranya pemerintah tetap memberikan subsidi penyediaan perumahan rakyat kecil? Untuk menjawab hal tersebut, maka ada dua pilihan yang bisa diambil pemerintah, yaitu; pertama, pemerintah melakukan kebijakan pembebasan semua pajak yang memberatkan pengembang untuk membangun perumahan rakyat, sehingga pengembangan perumahan raktyat diberikan kemudahan kepada semua pihak baik swasta, koperasi, maupun badan usaha milik negara (BUMN) dalam hal ini Perum Perumnas yang berperan sebagai agent of development, kedua, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi untuk mengkaver selisih bunga bank dan uang muka pembelian unit RSh. Anggaran subsidi itu diperoleh dari subsidi silang sektor-sektor yang dianggap bukan prioritas.

Dengan adanya instrumen kebijakan seperti itu, diharapkan pembangunan rumah dan produk properti komersial bisa diimbangi dengan bergairahnya pembangunan rumah untuk rakyat berpenghasilan rendah. Namun untuk dapat melaksanakan instrumen kebijakan tersebut, dibutuhkan institusi kelembagaan yang kuat dengan pengambil kebijakan yang profesional.

Jakarta, 8 Juli 2008

Terimakasih

Ilham M. Wijaya
prolham@gmail.com