Apr 7, 2008

Kenaikan Harga Rumah, Petaka Bagi Siapa?

Oleh Ilham M. Wijaya,SE


Kenaikan harga rumah sudah pasti akan terjadi pada triwulan I tahun ini, sebagai konsekuensi dari kenaikan bahan bangunan akibat meningkatnya minyak mentah dunia dan kondisi perekonomian global yang tidak menentu.

Namun, kenaikan ini akan menimbulkan banyak pertanyaan bagi kalangan properti dan masyarakat. Bagaimana dampak kenaikan harga rumah bagi pelaku bisnis properti dan masyarakat luas? Karena pasokan perumahan ke depan masih tetap tinggi.

Bagi para pelaku bisnis properti kenaikan ini memang sudah sangat dinantikan, mengingat beban pembangunan semakin tinggi akibat beberapa jenis bahan bangunan ikut naik.

Namun, di sisi lain, harga rumah belum bisa dinaikkan karena belum ada kepastian naik dari pemerintah.

Dengan kondisi seperti ini, keuntungan yang akan diraih akan semakin tipis, apalagi jika ditambah dengan menurunnya permintaan pasar terhadap produk properti yang dibangun. Jadi, para pengembang tersebut akan mengalami kerugian besar.

Sebaliknya bagi masyarakat luas, kenaikan harga rumah semakin mempersulit biaya hidup dan beban berat cicilan per bulan yang harus ditutup dari penghasilan.

Artinya bisa jadi masyarakat akan mengalihkan dananya untuk kebutuhan hidup yang lebih utama seperti kebutuhan pangan sehingga daya beli masyarakat terhadap rumah akan menurun drastis.

Akibat kenaikan harga rumah ini memang tidak bisa digeneralisasi akan membuat sektor perumahan menjadi terpuruk. Hal ini karena kondisi di lapangan seringkali berbeda jauh dengan pengamat properti.

Berdasarkan survei pasar perumahan yang dilakukan Property Research Institute (PRI) pada 2008 di Tangerang, ternyata hasilnya cukup positif.

Respons pasar terhadap produk perumahan yang baru dikembangkan secara kumulatif mencapai 70 %.

Misalnya beberapa proyek baru di kawasan Serpong untuk cluster Sevilla yang merupakan produk BSD City, dari 370 unit yang dipasarkan sejak Januari 2008 telah terjual sekitar 74 unit atau sekitar 37 unit per bulan.

Kemudian Serenade Lakes dari Paramount Serpong memasarkan 430 unit mulai September 2007, hingga Februari 2008 telah terjual 77 unit atau sekitar 15 unit per bulan.

Menengah atas

Namun, dari kondisi tersebut, masih perlu dikaji lebih jauh terutama menyangkut klasifikasi produk properti yang dikembangkan dan segmentasi pasar yang dijadikan sasaran pengembang sebagai captive market potensial.

Dapat dikatakan, penyerapan pasar tersebut masih terbatas pada subsektor perumahan kelas atas real estate yang kisaran harganya Rp500 juta ke atas, yang kemungkinan daya serap pasarnya tidak akan berubah mengingat tingkat pendapatan masyarakat yang berada di kelas ini tidak mengalami perubahan akibat kondisi perekonomian global.

Malah bisa jadi kelompok atas ini akan ketiban rezeki besar dari beragam instrumen investasi yang memanfaatkan kondisi global.

Berbeda halnya dengan kondisi sub sektor perumahan kelas RSH yang mempunyai captive market masyarakat menengah-bawah. Kenaikan harga rumah akan berakibat pada menurunnya daya beli masyarakat.

Pasokan perumahan akan kehilangan pembeli, sehingga bisa terjadi kelebihan pasokan yang sulit untuk pulih, apabila Pemerintah tidak membuat pendekatan kebijakan yang berpihak pada masyarakat bawah.

Dengan demikian, kenaikan harga rumah merupakan petaka bagi masyarakat bawah yang semakin sulit mendapatkan tempat tinggal.

Hal ini juga akan berlaku bagi pengembang perumahan yang masih tahap pemula dengan modal yang pas-pasan, dengan kenaikan harga ini usaha bisnis propertinya terancam gulung tikar.

Pihak yang akan tetap menguasai pasar properti adalah mereka yang mempunyai pengalaman luas dan modal besar, yang selama ini memasok kebutuhan perumahan bagi kalangan atas.

Oleh Ilham M. Wijaya
Direktur Eksekutif Property Research Institute (PRI) Jakarta

Dimuat Harian Bisnis Indonesia edisi 29 Maret 2008

Apr 1, 2008

Mendudukkan Masalah Pembangunan Rusuna

Oleh Ilham M. Wijaya, SE

Tajuk rencana Kompas 17 Maret 2008 sengaja mengupas masalah teguran Wapres terhadap kinerja Menpera terkait keterlambatan program pembangunan rumah susun sederhana (rusuna). Alasanya ingin memberikan pelajaran bagi semua pihak tentang efektifitas dan efisiensi kinerja pemerintahan. Betapun program rusuna yang dibebankan kepada Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) ini merupakan masalah pelik, karena menyangkut kewenangan menyediakan lahan yang dimiliki negara kepada pihak lain untuk program pembangunan rusuna.

Teguran Wapres kepada Menpera memang bisa diartikan beragam, bisa dari segi politik ataupun bisnis. Terlepas dari itu semua, masalah ini perlu diungkap secara lengkap ke publik terkait kondisi penyediaan perumahan untuk rakyat khususnya dalam program pembangunan 1000 menara rusuna.

Ide program pembangunan 1000 menara rusuna di seluruh Indonesia berawal keinginan pemerintah menata ruang pemukiman kota-kota besar di Indonesia khususnya di Jakarta. Seiring semakin meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan tempat tinggal diperkotaan cukup tinggi. Pembangunan hunian vertikal ini adalah solusi yang realistis untuk mengatasi masalah pemukiman penduduk di perkotaan. Mengingat luas lahan di perkotaan sangat terbatas sedangkan jumlah penduduk terus bertambah.

Namun kebijakan program ini tidak lebih hanya sebatas ide, sedangkan dalam pelaksanaan jauh dari harapan. Mengapa demikian, karena dari program ini terlihat sekali, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak menyentuh subtansi masalah, sedangkan pihak yang bertanggungjawab sengaja dikorbankan untuk di jadikan ‘kambing hitam’ kegagalan program ini.

Kalau kita kaji dari beberapa produk hukum terkait program pembangunan rusuna, mulai dari Kepres Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2007 tentang Tim Kordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun Di Kawasan Perkotaan. Peraturan Menko Ekonomi tentang tim pelaksana, yang dikordinatori oleh Menpera. Peraturan Menteri Perumahan Umum tentang Pedoman teknis pembangunan rusuna, Peraturan Menteri Keuangan tentang penetapan harga maksimal dan ukuran serta pembebasan pajak jasa konstruksi. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat tentang subsidi selisih bungan KPR. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 71 Tahun 2007 tentang kordinasi daerah khususnya kota-kota padat untuk pembangunan Rusunami. Peraturan Gubernur Nomor 136 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Rusuna. Maka didapatkan bahwa semua kebijakan tersebut masih bias, tidak ada yang menjelaskan aturan teknis mengenai penyediaan tanah untuk rusuna. Ada kesan Presiden dan Menteri saling ‘lempar handuk’. Padahal peraturan yang dibutuhkan untuk mempercepat program rusuna itu adalah penerbitan peraturan yang langsung dari Presiden terkait kejelasan mengenai penyediaan tanah untuk pembangunan rusuna.

Mengapa hal ini penting, karena bagaimanapun program pembangunan rusuna oleh pemerintah akan terkait penyediaan tanah. Begitu juga para pengembang, akan sulit mendapatkan lahan yang bagus apabila pemerintah tidak mempunyai kebijakan dalam masalah ini. Selain itu legitimasi tim percepatan yang tidak diikuti dengan konsep tata laksana teknis akan sulit bergerak. Karena setiap departemen mempunyai otritas sendiri, yang tidak bisa dilewati tanpa kekuatan dari Peraturan Presiden.

Selain masalah penyediaan tanah untuk pembangunan rusuna, masalah yang tidak kalah penting adalah mengenai harga tanah untuk rusuna. Pengembang akan sulit mengembangkan rusuna di lokasi terbaik, karena harga tanah di Jakarta sangat tinggi. Sedangkan harga jual maksimal unit rusuna sudah ditentukan pemerintah sebesar Rp144 juta, maka pengembang maksimal mendapatkan tanah dengan harga Rp 1 juta per meter persegi agar profit margin-nya tetap rasional. Subsidi harga tanah sebetulnya dimungkinkan untuk mengatasi masalah ini. Tetapi perlu ada kejelasan mengenai mekanismenya.

Disisi lain pengembang dihadapkan pada cost untuk perpanjangan status tanah apabila itu milik pemerintah seperti; Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Di Jakarta misalnya, para pengembang sulit membangun produk properti karena biaya perpanjangan status tanah sangat tinggi. Apalagi ada masalah untuk lokasi tanah yang berstatus HPL, biasanya sulit diterima pasar karena image kepemilikannya terbatas.

Dari segi potensi pasar sebetulnya pembangunan rusuna di Jakarta disambut positif oleh masyarakat, berdasarkan survey yang dilakukan Property Research Institutes (PRI) terbukti dari beberapa proyek rusunami yang baru launching pada akhir tahun 2007 selama 3 bulan sudah memiliki rata-rata tingkat penjualan hingga 90 %. Seperti; di rusunami Menara Cawang di Cililitan, rusunami City Park di Cengkareng, rusunami Sunway di TMII dan rusunami Gading Nias di Kelapa Gading. Jadi prospek bisnis rusuna di Jakarta sangat menjanjikan.

Berbeda halnya dengan kondisi proyek rusuna di Kemayoran, dengan harga tanah yang tinggi sekitar Rp 4 juta per meter persegi. Maka tak heran kalau proyek rusuna di Kemayoran terlambat, karena tidak ada investor yang mau berinvestasi untuk rusuna ini. Selain proyeknya tidak menguntungkan, status tanah di Kemayoran juga masih berupa HPL. Kondisi ini sulit bagi pengembang untuk memasarkan produknya kepada konsumen. Walaupun sebetulnya sama saja, tetapi psikologis kepemilikan bagi konsumen tetap menjadi pertimbangan dalam membeli produk properti

Lain soal kalau pemerintah membebaskan biaya tanah. Sedangkan biaya bangunan diserahkan sepenuhnya kepada pengembang. Sudah bisa dipastikan para investor akan berbondong-bondong menyerbu kawasan Kemayoran untuk mengembangkan beragam produk properti. Karena di Kemayoran lahan yang baru dikembangkan baru di 90,8 hektar dari luas lahan keseluruhan mencapai 454 hektar.

Pembangunan rusuna akan terus terjadi di masa mendatang, karena kota-kota di Indonesia memang sudah membutuhkan hunian vertikal yang mampu menampung masyarakat dalam jumlah besar. Namun secara garis besar konsep integral program rusuna dalam implementasinya masih membutuhkan waktu panjang.

Sehingga masalah lambatnya pembangunan rusuna ini bukan masalah kinerja salah satu Menteri yang ‘kurang strategis’ tetapi karena political will pemerintah dalam hal ini Presiden untuk membuat kebijakan penyediaan hunian layak bagi masyarakat menengah-bawah memang tidak ada. Malah yang terjadi Menpera akan menjadi ’kambing hitam’ kegagalan program ini.


Jakarta, 26 Maret 2008

Terimakasih,

Ilham M. Wijaya
proilham@gmail.com