Nov 18, 2009

Menggilir kegelapan; Ketersediaan listrik hal yang pokok bagi semua jenis industri

Oleh: Ilham M. Wijaya

Belum lekang dari ingatan kita, tentang imbauan pemerintah tahun lalu untuk menghemat listrik di perkantoran dan pusat perbelanjaan. Pemerintah melakukan inspeksi mendadak (sidak) di beberapa perkantoran untuk memastikan penghematan listrik.
Waktu itu masalah pasokan batu bara sebagai bahan baku pembangkit listrik sedang mengalami gangguan, kontan saja Jakarta digilir kegelapan.

Hal serupa terjadi sekarang, namun berbeda dengan problem yang lalu. Pemadaman listrik yang mendera Jakarta dan sekitarnya akibat rusaknya instalasi gardu induk di daerah Cawang Jakarta Timur, selain itu PLTU di daerah Muara Karang Bekasi juga mengalami kerusakan.

Menyikapi kondisi ini, PLN sepertinya tidak mau pusing. Agar pasokan listrik bisa merata diterima warga dan industri, pasokannya digilir secara bergantian. Bagi kawasan industri dan perkantoran yang memiliki generator mungkin tidak terpengaruh dengan krisis listrik ini, walaupun akibatnya biaya operasional menjadi lebih besar, karena biaya bahan baku generator yaitu solar harganya cukup mahal juga, jika digunakan dalam waktu lama.

Problem listrik yang terulang lagi pada masa 100 hari kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Seharusnya hal itu menjadi pelajaran untuk merevitalisasi pengelolaan kelistrikan yang lebih profesional, walaupun isu listrik ini menjadi fokus kedua setelah program pemberantasan korupsi pada 100 hari Yudhoyono.

Namun, pemerintah terutama PLN tidak bisa sekadar merencanakan program 100 hari masalah kelistrikan tanpa tindakan yang nyata. PLN pun tidak bisa sembunyi di balik alasan anggaran pemeliharaan dan pengadaan kelistrikan yang membutuhkan Rp80 triliun per tahun.

PLN sebagai institusi yang notabene sudah mempunyai rencana strategis yang terdiri dari berbagai item prioritas baik pemeliharaan maupun pengadaan kelistrikan yang sudah memperhatikan aspek-aspek krusial yang perlu penanganan cepat.

Jika terjadi hal-hal di luar rencana, yang menyebabkan terganggunya ketersediaan listrik bagi warga dan industri, pemerintah dalam hal ini Menneg BUMN harus segera turun tangan mengatasi problem ini.

Selain pemerintah, seluruh pihak yang terkait termasuk masyarakat harus bahu-membahu menciptakan pasokan listrik yang cukup. Masyarakat juga tidak bisa seenaknya menggunakan listrik, tidak juga mencuri listrik negara, karena jelas merugikan PLN.

Masyarakat perlu diedukasi agar menggunakan listrik seperlunya. Begitu juga industri. Penggunaan listrik ini akan menjadi prioritas pertimbangan industri dalam menentukan produksi dan investasi. Jika ketersediaan listrik itu, terganggu sektor industri akan mengalami kerugian.

Masalah listrik ini memang sulit diatasi, karena pasokan dan kebutuhan energi listrik di Indonesia tidak sebanding. Sehingga sering kali beberapa daerah, sudah terbiasa dengan pemadaman listrik oleh PLN setempat.

Selain itu PLN sulit mencapai titik temu untuk membeli energi listrik dari pihak swasta. Untuk itu rencana mega proyek pembangunan pembangkit listrik 10.000 megawatt harus segera direalisasikan.

Jika pemerintah sulit membuat sistem perjanjian dengan pihak swasta, karena profit sharing, harga beli, dan insentif yang diminta pihak swasta belum menemukan titik tengah, pemerintah seharusnya bisa melakukan negoisasi lebih baik lagi, selain mencari jalan keluar pendanaan dari dalam negeri.

Kalaupun sulit dilakukan, pilihan terbaiknya adalah untuk jangka pendek harga beli dari pembangkit swasta harus ditegaskan karena ini menyangkut kepentingan publik. Adapun, menyangkut pembangkit listrik dari proyek PLN yang akan dibangun sebesar 10.000 Megawatt, pemerintah harus segera bertindak, tidak lagi mengkaji, agar proyek ini tidak tersendat. Jika ada peluang pendanaan dari bank dalam negeri, hal tersebut harus segera diambil langkah-langkah taktisnya.

Investasi

Ketersediaan listrik bagi industri merupakan hal yang pokok untuk semua jenis industri. Industri besar yang berada dalam kawasan industri akan terganggu produksinya jika pasokan listrik tidak diselesaikan pemerintah.

Pemerintah seharusnya mampu mendatangkan investor asing ataupun mengundang investor lokal untuk membangun industri. Namun, jika masalah pokok yaitu listrik tidak tersedia, jangan harap investor mau menanamkan dananya. Kalaupun ada berbagai kemudahan dari pemerintah kepada para calon investor tersebut, tetap akan sulit membuat investor mau masuk. Ibarat memberikan pancing ikan yang banyak tetapi tidak ada ikan di kolam, artinya semua akan sia-sia.

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah, dalam hal mengatasi krisis listrik ini. Pertama, dalam jangka pendek, perbaikan gardu listrik dan pembangkit listrik yang rusak perlu dipercepat penyelesaiannya. Jika perlu bantuan pihak asing atau tambahan biaya perbaikan, pemerintah perlu memprioritaskan perbaikan masalah listrik ini.

Kedua, dalam jangka menengah, krisis listrik ini akan terus berlanjut jika tidak ada diversifikasi energi pembangkit listrik. Pemerintah perlu menggandeng pihak swasta untuk investasi di bidang pembangkit listrik (power plant industry). Semakin banyak pembangkit listrik dibuat, maka ketersediaan pasokan listrik juga akan semakin banyak.

Pembangunan power plant ini juga perlu memperhatikan sumber-sumber listrik baru, tidak melulu mengandalkan batu bara. Sumber energi listrik yang lain seperti; angin, geothermal dan cold bed metan (CBM) bisa dikembangkan lebih baik lagi. Selagi pembangkit-pembangkit listrik yang mudah diberdayakan dari sumber energi alam di daerah-daerah yang potensial perlu terus ditingkatkan pasokannya.

Langkah ketiga, dalam jangka panjang, proyek 10.000 megawatt perlu dikelola dengan baik, sehingga nantinya antara investasi dan reward yang diberikan tidak merugikan semua pihak termasuk masyarakat yang sering terimbas dampak kenaikan TDL. Akibat dari ulah investor yang seenaknya memasang tarif, karena alasan biaya investasi yang tinggi.

Agar problem menggilir kegelapan ini tidak terulang lagi, PLN sebagai instansi pengelola kelistrikan negara ditunggu terobosannya dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dan industri. Tidak cukup memberikan kompensasi 10% untuk industri yang terkena pemadaman listrik ini karena efek domino dari problem listrik ini menyangkut banyak pihak.

Untuk itu, kita menunggu komitmen dan upaya keseriusan PLN dalam membenahi sektor kelistrikan ini, masyarakat sebetulnya hanya menginginkan ketersediaan listrik bisa stabil. Apapun yang dilakukan PLN dan otoritas kelistrikan di Indonesia, dalam mengelola sektor ini. Selama bermanfaat bagi masyarakat, sepertinya masyarakat tidak mau ambil pusing.

Terimakasih

Artikel ini dimuat diharian Bisnis Indonesia Rabu, 18 November 2009

Mohon masukan dan saran ; proilham@gmail.com

Nov 5, 2009

Merumahkan Korban Gempa

Oleh Ilham M. Wijaya, SE

Bisa dipastikan para korban gempa yang rumahnya rusak berat akan kesulitan mencari tempat tinggal yang layak, walaupun ada bantuan tenda darurat kondisinya akan serba terbatas. Agar kehidupan mereka bisa kembali produktif, saat ini menyiapkan rumah yang layak bagi mereka adalah kebutuhan penting penanganan pasca bencana.

Penyediaan rumah ini bisa diartikan dua hal yaitu; pertama, pemugaran rumah yang rusak dengan merenovasi agar tampak seperti semula atau membuat pondok sementara disamping rumah mereka yang rusak, serta perbaikan infrastruktur lingkungan sekitar. Kedua, penyediaan rumah baru yang dibangun dalam satu kawasan terpadu bagi korban gempa yang rumahnya sudah hancur total.

Dalam hal perbaikan rumah yang rusak ini memang sulit sekali direalisasikan oleh warga, mengingat biaya yang dikeluarkan akan besar dan prosesnyapun membutuhkan waktu lama. Selain itu bantuan yang diberikan untuk proses renovasi seringkali tidak cukup untuk membangun kembali rumah yang rusak. Biasanya kebanyakan warga lebih memilih merenovasi seadanya dan menggunakan uang bantuan tersebut untuk hal-hal lain.

Untuk itu proses rekonstruksi rumah warga korban gempa tersebut perlu dilakukan secara bertahap mulai dari penyediaan rumah sementara yang layak, pembangunan rumah baru hingga perbaikan infrastruktur dan rencana tataruang yang sesuai dengan kepentingan daerah. Semua itu perlu di kordinir oleh Pemerintah secara menyeluruh dan terpadu. Dalam proses pelaksanaannya perlu melibatkan warga secara partisipatif, agar hasilnya bisa diterima warga korban gempa.

Proses penyediaan rumah sementara bisa dilakukan dengan design yang serba minimalis baik dari segi bahan maupun luasan yang terpenting warga bisa berteduh layak. Namun perlu dipikirkan biaya pembangunan pondok sementara tersebut dengan biaya rekonstruksi secara total, jika perbedaanya tidak banyak. Maka lebih baik membangun secara total.

Sebetulnya untuk penyediaan rumah bagi korban gempa pilihan dengan menyediakan rumah pada kawasan baru yang sesuai dengan rencana tataruang kawasan di daerah tersebut lebih mudah dilakukan daripada harus merekonstruksi rumah rusak pada area yang sama. Dengan menyediakan rumah dikawasan baru, proses perencanaannya akan lebih terpadu dan bisa dilakukan secara sistematis.

Namun untuk membangun kawasan terpadu tersebut perlu prinsip kehati-hatian karena warga seringkali menolak untuk direlokasi ke kawasan baru, mereka lebih memilih bertahan ditempat lama karena alasan lahan tersebut sudah lama menjadi tempat tinggal atau ada alasan-alasan prinsip yang sulit untuk diubah.

Belajar dari proses rekonstruksi gempa yang terjadi di Aceh, banyak bantuan baik dari Indonesia maupun dari luar negeri yang fokus memberikan bantuan pengadaan rumah. Dari sekian banyak bantuan itu, ada beberapa kasus penolakan warga terhadap pemberian bantuan rumah tersebut. Hal ini dikarenakan warga tidak dilibatkan dalam mendesign bangunan yang sesuai dengan kebiasaan adat istiadat warga didaerah tersebut. Untuk itu penyediaan rumah ini perlu dilakukan secara partisipatif dan dilakukan secara bertahap sesuai kehendak warga sekitar.

Penyediaan rumah partisipatif
Dalam penyediaan rumah bagi korban gempa pada kawasan baru secara partisipatif, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan yaitu; pertama, melakukan identifikasi secara menyeluruh mengenai kebutuhan jumlah unit rumah dan lahan yang akan dibangun sebagai kawasan perumahan bagi korban gempa. Kedua. Melakukan perencanaan partisipatif dalam menentukan pelaksanaan pembangunan fisik rumah dan sarana-prasarana kawasan baru perumahan tersebut. Ketiga, membentuk organisasi manajemen estat kawasan perumahan tersebut agar tertata dengan rapi.

Proses identifikasi mengenai kebutuhan jumlah unit rumah yang akan dibangun dan lahan yang siap untuk dijadikan kawasan baru ini, dimulai dengan mendata setiap warga yang terkena gempa dengan cara membentuk kelompok kecil antar warga, setiap kelompok kecil tersebut diberikan kewenangan untuk merumuskan kebutuhan dan anggota yang berhak mendapat rumah. Pihak pemberi bantuan atau donor hanya memonitor prosesnya dan menyusun rencana kerja secara menyeluruh sekaligus menyiapkan budget untuk proses penyediaan rumah tersebut.

Setelah itu proses perencanaan partisipatif yaitu merencanakan proses pelaksanaan pembangunan fisik rumah yang akan disediakan bagi korban gempa. Proses ini sedianya hanya diikuti oleh kordinator perwakilan kelompok warga, sehingga prosesnya lebih cepat. Selebihnya masukan warga akan diterjemahkan oleh pengembang dan tim konsultan lainnya untuk membangun kawasan terpadu.

Selama proses pembangunan berjalan, proses pengorganisasian warga tetap harus dilakukan terutama menyangkut penempatan dan pengaturan manajemen estat kawasan baru tersebut. Dengan adanya proses partisipatif, warga menjadi bagian dari proses rekonstruksi tersebut, sehingga hasilnya bisa diterima warga.

Dalam proses partisipatif tersebut, memang tidak mudah melakukan komunikasi dengan warga korban gempa. Mereka biasanya sulit untuk diajak berkomunikasi karena trauma. Membangun kembali semangat hidup mereka butuh kesabaran, yang perlu diingat cara berkomunikasi dengan para korban gempa tidak menampakkan seolah-olah para pemberi bantuan adalah raja yang perlu diikuti semuanya. Perlu sikap yang sama rata sama rasa yaitu bersikap sewajarnya berempati secara mendalam sambil mendorong agar mereka semangat menyongsong hidup baru.

Dalam proses penempatan rumah bagi korban gempa tersebut, apakah warga mendapatkan rumah secara gratis? Dalam hal ini perlu dipikirkan mekanisme memperoleh rumah tersebut, menurut hemat penulis proses memperoleh rumah tersebut tidak gratis melainkan warga korban gempa diberi berbagai kemudahan misalnya dengan fasilitas kredit. Hal ini dilakukan untuk membangun tanggungjawab warga korban gempa dalam merawat rumah juga dalam kaitannya dengan sumber dana pembangunan kawasan tersebut.

Kemudahan yang bisa diambil oleh para pemberi bantuan kepada korban gempa khususnya dalam hal penyediaan rumah ini adalah dengan memperbolehkan warga korban gempa tidak melalui proses bankable seperti; administrasi uang muka, kependudukan, slip gaji, bunga cicilan yang berat, dan sistem cicilan yang ringan. Untuk menghindari resiko yang lebih besar Bank harus memiliki sistem seleksi khusus penerima kredit pemilikan rumah atau KPR khusus ini dengan cara menerapkan sistem kelompok kecil yang memiliki tanggung jawab atas pinjaman yang macet.

Penerapan sistem ini adalah salahsatu sumbangsih dalam meringankan korban gempa. Sehingga mereka bisa tetap memiliki optimisme dalam memulai kehidupan baru, dengan adanya kemauan dari semua pihak terkait penyediaan rumah ini, bantuan yang seperti ini, akan lebih berguna dan bermanfaat bagi mereka.

Jakarta, 12 Oktober 2009

@mohon kritik dan tanggapan artikel:proilham@gmail.com

Artikel ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia edisi Kamis, 15 oktober 2009

Sep 16, 2009

Reformasi Kelembagaan Kemenpera di Era Otonomi Daerah

Perubahan sistem ketatanegaraan di Indonesia telah berdampak pada berbagai bidang. Khususnya bidang perumahan dan permukiman, pembagian kerja dengan daerah telah dipayungi peraturan pemerintah (PP) NO. 38 Tahun 2007. Pembagian kerja ini dilandasi oleh semangat untuk membangun tanggung jawab bersama dalam hal penyediaan hunian layak bagi masyarakat.

Namun dalam implementasinya, PP No 38 Tahun 2007 ini seringkali di benturkan dengan PP No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dimana Daerah berhak mengatur perangkat organisasinya sendiri sesuai kebutuhan dan kapasitas daerah tersebut. Terutama dalam mengatur jumlah dan nama Dinas Daerah. Jika dibentuk Dinas Daerah yang membidangi perumahan dan permukiman maka konsekuensinya Dinas tersebut harus membuat anggaran dan kebijakan tersendiri. Tentunya hal ini akan berat dilakukan oleh daerah yang belum menjadikan bidang perumahan dan permukiman menjadi konsentrasi pembangunan. Bentuk lain seperti Kantor, atau Lembaga Teknis daerah pada intinya permasalahannya terletak pada ketersediaan dana dan political wiil dari daerah.

Untuk mendorong Daerah agar merespon PP NO 38 Tahun 2007, Pemerintah Pusat terlebih dahulu harus merombak sistem kelembagaannya. Agar dalam operasionalnya daerah memiliki panduan dalam pelaksanaan tugas pengembangan perumahan dan permukiman didaerah.

Perombakan sistem kelembagaan yang dimaksud adalah melakukan upaya penguatan dengan didukung oleh regulasi yang ada. Misalnya; setiap kebijakan pemerintah pusat memiliki ketentuan mengikat ke daerah, walaupun era otonomi daerah wewenang dearah cukup besar. Namun dibidang perumahan ini secara grand design pemerintah pusat bisa mengatur ruang lingkup setiap kebijakan pembangunan perumahan dan permukiman. Dimana fungsi daerah dan dimana fungsi pusat, itu semuanya sudah ditentukan bersama-sama antara pemerintah daerah dan pusat. Dengan adanya keterkaitan pembangunan perumahan dan permukiman antara pusat dan daerah. Maka secara tidak langsung persoalan visi bersama sudah mulai teratasi, tinggal pelaksanaan di daerah yang perlu keseriusan.

Selain itu dalam aspek kelembagaan, hal-hal yang perlu mendapat perhatian dan perbaikan adalah menyangkut pola kordinasi setiap instansi yang secara langsung berhubungan dengan bidang perumahan dan permukiman, seperti, Perumnas, Bapertarum-PNS, YKPP, BTN, Jamsostek, PLN, BPN dll. Pola koordinasi ini harus jelas, sehingga Kemenpera dapat menjalankan setiap programnya dengan baik. Secara garis besar hal-hal pokok yang menyangkut perbaikan kelembagaan terdiri dari dua (2) aspek:
1. Aspek Kelembagaan
a. Badan Operasional Perumahan Rakyat
b. Pembentukan Dinas Perumahan atau Unit kerja yang khusus membidangi masalah perumahan dan permukiman terdapat di semua Daerah

2. Aspek Regulasi Pendukung
a. Kepres, Kepmen; Secara umum badan ini
sebagai kordinator instansi pelaksana bidang perumahan seperti; pertanahan, pendanaan, sarana prasarana, pembangunan, perijinan, kelistrikan, fasum/fasos, lingkungan, budaya, dll.

b. PP No 38 Tahun 2007; PP No41 Tahun 2007
Perda ; Pergub; PerWalikota; Perbupati

Idealnya Badan Operasional ini merupakan respresentasi dari seluruh instansi pemerintah yang menyangkut perumahan. Badan operasional ini sebagai pusat informasi dan komunikasi, dengan tujuang menjalankan visi bersama dari semua instnsi pemerintah yang terkait perumahan dan permukiman. Dengan adanya badan ini diharapakn pembangunan perumahan rakyat bisa lebih integratif sehingga penyelenggaraannya menjadi terarah.

Pada gambar dimuka terdapat alur hierarki setiap level pemerintahan memiliki komitmen untuk menuju pada visi bersama. Kemudian ada legitimasi hukum yang mengatur setiap Dinas Perumahan Provinsi dan Dinas Perumahan Kab/Kota dan setiap aktivitas yang terkait dengan sektor perumahan. Dalam proses penyusunan program partisipasi masyarakat di setiap level dimungkinkan untuk terlibat aktif. Agar prosesnya sesuai dengan harapan masyarakat. Pelaksanaan struktur manajemen pembangunan perumahan dan pengembangan permukiman nasional tersebut akan berjalan baik apabila memenuhi persyaratan dibawah ini, yaitu :

1.Pembentukan Dinas Perumahan atau Unit kerja yang khusus membidangi masalah perumahan dan permukiman terdapat di semua Daerah.
2.Terdapat anggaran pembangunan yang feasible untuk membangun bidang perumahan dan pengembangan permukiman.
3.Adanya sumber daya manusia (SDM) yang handal dalam bidang perumahan dan permukinan.
Sekarang ini masalah utama yang muncul dalam menjalankan struktur manajemen perumahan nasional tersebut adalah setiap Daerah banyak yang belum memiliki Dinas Perumahan.

Sehingga sulit sekali untuk membangun komunikasi dalam menentukan program pembangunan perumahan dan permukiman nasional. Untuk itu langkah pertama yang perlu dilakukan untuk Kemenpera di masa mendatang adalah mempercepat adanya Dinas Perumahan di setiap Daerah sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007.

Selain masalah kelembagaan yang belum ada. Masalah utama lainnya adalah mengenai anggaran biaya untuk bidang perumahan dan permukiman sangat terbatas. Setiap Daerah diprediksi sulit mengalokasikan dana untuk bidang perumahan dan permukiman. Mengingat kebutuhan prioritas lainnya seperti; anggaran pendidikan, kesehatan dan kemiskinan mendesak harus dipenuhi. Untuk menyiasati hal ini daerah bisa membangun kemitraan bisnis dengan pihak swasta dengan memberikan insentif baik dari segi perijinan maupun sektor pajak.

Dari segi sumber daya yang memahami bidang perumahan dan permukiman. Daerah harus mulai melakukan pelatihan-pelatihan untuk menghasilkan birokrasi yang memahami secara mendalam bidang public housing dengan segala aspek terkaitnya.

Setelah semua prasyarat terpenuhi untuk menjalankan manajemen pembangunan perumahan dan permukiman nasional. Selanjutnya dibutuhkan visi bersama yang menjadi cita ideal bidang perumahan dan permukiman. Visi bersama tersebut dirumuskan bersama antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sebetulnya pada era tahun 90-an pemerintah melalui Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah (KIMPRASWIL) telah menghasilkan visi pembangunan perumahan dan permukiman 2020 yang berisi : ”setiap orang (KK) Indonesia mampu memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau pada lingkungan yang sehat dan aman harmonis dan berkelanjutan dalam upaya terbentuknya masyarakat berjatidiri, mandiri dan produktif”. Visi tersebut terangkum dalam gagasan yang cukup komprehensif yaitu Kebijakan Dan Strategi Nasional Pembangunan Perumahan Dan Permukiman (KSNPP). Kebijakan ini berdasarkan pada program arahan dari Pelita V dan UU No. 4 Tahun 1992.
Secara konseptual KSNPP sudah lengkap dan baik. Kebijakan KSNPP mengalami perubahan karena dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Perubahan antara lain dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri KIMPRASWIL No. 217/KPTS/M/2002 tentang Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman.

Pada era pemerintahan sekarang ini, Kemenpera memiliki banyak program yang terkait dengan perumahan rakyat. Namun program-program tersebut bisa dikatakan hanya sebatas program seremonial yang bersifat jangka pendek. Karena apabila mengacu kepada syarat manajemen pembangunan perumahan dan pengembangan permukiman. Maka Kemenpera selama ini belum bisa optimal menjalankan programnya.

Untuk mengoptimalkan peran dan kepentingan pembangunan perumahan rakyat dapat diwujudkan melalui dua hal pokok, kedua hal pokok itu antara lain :
1.Adanya Departemen Perumahan di tingkat Pemerintah Pusat dan Dinas Perumahan di tingkat Pemerintah Daerah Provinisi dan Pemerintah Daerah Kab/Kota seluruh Indonesia. Keberadaan Departemen ini berbeda dengan Kementrian Negara. Departemen memiliki kewenangan menentukan anggaran dan mengelolanya sampai ke struktur organisasi tingkat Daerah. Dari mulai perrencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan dapat dioptimalkan. Meski demikian ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan berkaitan dengan keberadaan Departemen Perumahan tersebut, yaitu :
•Legitimasi atau pengakuan dari berbagai pihak baik dari aspek hukum dan perundang-undangan, kelembagaan negara, maupun yang mendukung keberadaan Departemen ini.
•Sinergi kerja dengan berbagai Lembaga dan Instansi yang terkait terutama menyangkut besaran subsidi kredit perumahan dengan Depkeu, kerjasama dalam hal pembangunan kelistrikan dengan PLN, kordinasi masalah pertanahan dengan BPN.

2.Adanya blue print strategi transformasi model pembangunan perumahan dan permukiman secara nasional dengan Dinas Perumahan ditingkat Provinsi dan Kab/Kota yang jelas dan menyeluruh serta memperlihatkan profesionalisme kerja.

Dalam kaitan blue print tersebut ada beberapa indikator yang perlu dikaji lebih jauh. Indikator yang dimaksud adalah sebuah pernyataan yang merupakan cerminan dari aspek-aspek penting tentang masa depan ideal pembangunan perumahan dan permukiman nasional. Idealnya indikator ini dihasilkan dari proses diskusi panjang semua pemangku kepentingan perumahan dan permukiman di semua tingkatan pemerintahan. Namun sebagai gambaran indikator tersebut terdiri dari beberapa aspek dibawah ini, diantaranya;
A.Aspek Kebijakan
-Adanya kebijakan penyelenggaraan perumahan dan permukiman dengan prioritas masyarakat berpenghasilan rendah. Mengoptimalkan kebijakan realisasi pembangunan dengan perbandingan 1:3:6.
-Anggaran Kebijakan Anggaran Perumahan rakyat dapat dialokasikan minimal 1% dari total APBN.
-Adanya kebijakan pemberian insentif bagi pelaku pembangunan perumahan dan permukiman baik lembaga formal, informal maupun perorangan.
B.Aspek Kelembagaan
-Terbentuknya Dinas Perumahan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kab/Kota disetiap Daerah.
-Terbentuknya lembaga atau badan perijinan one stop services yang mengurusi bidang perumahan dan permukiman, untuk mendorong keterpaduan kepentingan antara; Badan Pertanahan Nasional (BPN), Perusahaan Listrik Negara (PLN), Birokrasi Pemda dan pihak swasta.
-Adanya SDM birokrasi yang handal terkait bidang perumahan dan permukiman.
-Pembinaan pelaku pembangunan perumahan dan stake holder perumahan melalui forum pelaku pembangunan perumahan dan permukiman serta stakeholder perumahan untuk mendapatkan masukan yang lebih partisipatif.

C.Aspek Pembiayaan
-Pengembangan sistem pembiayaan perumahan nasional yang bisa lebih menjangkau ke semua lapisan masyarakat.
-Pengembangan sistem pembiayaan perumahan nasional yang terintegrasi. Dalam hal ini sangat dimungkinkan untuk dibentuk Lembaga Keuangan atau Bank yang khusus membidangi Perumahan dan Permukiman.
-Optimalisasi kinerja lembaga alternatif pembiayaan perumahan seperti; PT SMF, Bapertarum-PNS,dll.

D.Aspek Pertanahan dan Tata ruang
-Adanya kebijakan pertanahan dan tata ruang untuk perumahan dan permukiman masyarakat yang berpenghasilan rendah.
-Adanya pengendalian tata ruang tingkat nasional dan wilayah yang terintegrasi dalam satu kesatuan sistem. Dalam hal ini ada sebuah blue print tentang pembangunan kawasan untuk perumahan dan permukiman.
-Pengembangan lahan dan tata ruang diarahkan untuk pembangunan berkelanjutan yang berdimensi sosial.

Dengan konsistensi dalam menjalankan setiap kebijakan bidang perumahan dan permukiman serta didukung oleh birokrasi yang handal. Tujuan blue print tersebut bisa tercapai. Langkah selanjutnya untuk untuk menjalankan blue print tersebut. Perlu ada strategi penyusunan regulasi pembangunan yang bisa menggerakkan visi besar pembangunan perumahan dan pengembangan permukiman nasional.


*tulisan secara subtansi hampir sama dengan yang sebelumya ada penekanan dan penambahan sedikit.

mohon komentar pengunjung...
proilham@gmail.com

Sep 8, 2009

USULAN PROGRAM 100 HARI KEMENPERA

Kompleksitas masalah perumahan dan permukiman di Indonesia harus diselesaikan secara komprehensif. Karena bidang ini melibatkan berbagai sektor, sehingga pengelolaannya harus terpadu dan menyeluruh. Untuk itu dalam kerjanya perlu didukung oleh sistem kelembagaan yang efektif dan efisien.

Pengelolaan bidang perumahan dan permukiman di Indonesia sejak pra kemerdekaan hingga era reformasi memang telah banyak mengalami perubahan yang signifikan, seperti; pembentukan Kementerian Perumahan Rakyat sebagai kordinator seluruh aktivitas bidang perumahan rakyat, pembentukan Bapertarum-PNS untuk membantu penyediaan rumah bagi kalangan pegawai negeri sipil, pendirian PT Sarana Multi griya Finance (SMF) sebagai alternatif pembiayaan perumahan, dll.

Namun perkembangan bidang perumahan dan permukiman tersebut tidak diikuti dengan penguatan regulasi dan kelembagaan. Sekarang ini Kemenpera hanya berfungsi sebagai kordinator yang tugasnya adalah mengkordinir aktivitas bidang perumahan dan permukiman di Indonesia.

Masalah strategis yang terkait bidang perumahan dan permukiman seperti; pembiayaan, penguasaan tanah dan tataruang, perijinan serta operasional pelaksanaanya. Selama ini menjadi masalah yang sulit dipecahkan oleh Kemenpera. Karena kurangnya wewenang dan sistem kelembagaan yang tidak melingkupi semua masalah tersebut.

Dengan demikian dimasa kabinet pemerintahan 2009-2014 mendatang, perlu ada upaya untuk membenahi wewenang dan sistem kelembagaan tersebut. Agar kinerja Kemenpera kedepan lebih kuat dan produktif sehingga agenda-agenda perumahan rakyat bisa dilaksanakan sesuai harapan.

Usulan agenda 100 hari bidang perumahan ini memuat beberapa hal diantaranya : Reformasi Kelembagaan Kemenpera di Era Otonomi Daerah, kemudian setelah adanya format dari reformasi kelembagaan tersebut, maka selanjutnya akan dipaparkan Strategi Penyusunan Regulasi Terkait Bidang Perumahan dan Permukiman hal ini penting untuk mendukung sistem kelembagaan Kemenpera. Kemudian setelah regulasi dan kelembagaan mendapatkan blue print-nya, selanjutnya perlu Format Kerangka Kerja Bidang Perumahan Rakyat.

continued...

komentar dong

Jul 14, 2009

Arah Perumahan Rakyat 2009-2014

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Walaupun bersifat politis, posisi Menteri khususnya Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) tidak bisa dipandang sebelah mata. Perlu orang tepat dan memiliki kapasitas yang mumpuni. Karena bidang perumahan rakyat merupakan hak dasar rakyat yang perlu dipenuhi secepat mungkin oleh Pemerintah, sehingga pengelolaannya harus dinakhkodai oleh orang yang tepat.

Selama ini pengelolaan perumahan rakyat terkendala struktur kelembagaan dan finansial yang terbatas. Namun untuk masalah finansial relatif terselesaikan dengan adanya alokasi anggaran dalam APBN 2009 sebesar Rp 2,5 Trilyun. Artinya pemerintahan SBY kedepan kemungkinan akan tetap berkomitmen mendorong sektor perumahan rakyat.

Mengenai struktur kelembagaan memang selama ini bidang perumahan rakyat hanya bersifat Kementerian yaitu hanya bersifat kordinatif langsung dibawah Presiden. Kemenpera tidak bisa melakukan inisiatif budget untuk membuat program-program yang lebih riil, karena anggarannya hanya untuk kordinatif. Sehingga selama kabinet pemerintahan kemarin, Kemenpera hanya menjadi pelengkap yang hanya menjalankan fungsi seremonial belaka.

Tentunya kendala tersebut harus diselesaikan dengan mendorong Presiden terpilih agar bersedia mengeluarkan kebijakan yang mendukung wewenang Kemenpera. Jika memang kebijakan itu sulit untuk mengarah pada sistem struktur Kemenpera yang mengakar di Daerah, maka tidak salah jika ada hubungan baik yang terus dijalin dengan daerah terutama Daerah yang memiliki PAD besar dan termasuk kota-kota yang padat penduduknya. Karena pembangunan perumahan dan permukiman sebagai langkah awal harus bermulai dari penataan perkotaan agar kedepan tidak terjadi obesitas perkotaan.

Kemungkinan Kemenpera 2009-2014 akan menghadapi masalah yang sama. Namun demikian untuk efektifitas kerja perlu ada arah dan penekanan dari segi isu dan program (road map). Misalnya; Penekanan pada bentuk loby dengan Pemerintah Daerah atau Pemda dalam hal pembentukan Dinas Perumahan di daerah atau dalam hal pemenuhan rumah untuk rakyat di daerah.

Pengamatan penulis selama kepemimpinan Pak Yusuf Asy’ari, loby yang dilakukan sangat lemah. Sehingga seringkali Pemda tidak memiliki kepedulian untuk mengikuti anjuran Menpera. Padahal yang diperlukan adalah pendekatan interpersonal untuk memajukan perumahan rakyat diseluruh pelosok Indonesia.

Selain itu penekanan pada program yang konkrit dan bisa dijadikan unggulan sepertinya perlu dilakukan. Misalnya program untuk mengatasi backlog rumah yang jumlahnya mencapai 5,8 juta unit hingga akhir tahun 2009 ini bisa disiasati dengan penentuan target-target setiap tahunnya sehingga posisinya terus menurun dengan diikuti pembentuk komite-komite pencarian dana segar dan insiasi kerjasama yang sesuai dengan aturan perundang-undangan dengan berbagai pihak.

Walaupun sebenarnya, fungsi Kemenpera tidak langsung menjadi pelaku produksi perumahan. Tetapi kemenpera perlu membangun track bagi para pelaku perumahan agar bisa lebih mudah dan leluasa dalam mengurangi backlog ini. Untuk itu Kemenpera kedepan perlu diisi oleh orang yang kuat dan paham mengenai kondisi perumahan rakyat.

Sebagai catatan, ada beberapa pekerjaan rumah yang belum terselesaikan Menpera 2004-2009, yaitu, pertama, menyangkut program 1000 menara rusun. Program ini sudah tepat dari segi kajian untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk di perkotaan. Namun banyak masalah yang muncul juga masih belum terselesaikan. Kedepan program ini betul-betul harus dibackup langsung oleh Presiden dan Menpera bekerja optimal mengkordinir seluruh instansi terkait.

Kedua, pembiayaan perumahan bagi kalangan masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. Masalah pembiayaan ini terkait dengan Perbankan sedangkan untuk mengakses perbankan, MBR memiliki kendala administratif. Untuk itu saya kira Menpera harus berani mengambil keputusan membuat semacam lembaga pembiayaan baik Bank maupun non bank yang bersifat alternatif. Syukur jika berani mewujudkan Bank Perumahan Rakyat yang bisa diakses MBR tersebut.

Ketiga, pembinaan pelaku pembangunan perumahan baik formal maupun swadaya. Pembinaan ini seringkali dimaknai hanya dalam konteks seremonial seperti; kegiatan-kegiatan seminar, kunjungan-kunjungan dll. Padahal makna pembinaan ini sangat penting untuk kesinambungan pembangunan perumahan yaitu dengan melakukan upaya-upaya memberi ruang dan kemudahan bagi pelaku pengembangan perumahan. Ruang yang dimaksud adalah adanya fasilitasi dalam mengakses tanah, jaringan listrik dan kemudahan lainnya.

Keempat, pembentukan manajemen informasi yang integratif terkait dengan pengembangan sektor perumahan rakyat di seluruh Indonesia. Hal ini penting, karena masalah perumahan sangat kompleks, data yang dimiliki juga seringkali berbeda dengan yang lainnya, kondisi daerah juga berbeda-beda. Untuk itu dengan adanya sistem informasi yang komprehensif pemenuhan kebutuhan rumah akan terukur dan sesuai kondisi daerah-daerah.

Kelima, mendorong pembangunan berkelanjutan dalam program pemenuhan kebutuhan rumah. Agar setiap pengelolaan dan pembangunan perumahan bisa diarahkan dalam jangka panjang. Pembinaan lingkungan ini penting agar kedepan masalah permukiman dan perumahan menjadi semakin lebih baik lagi.

Kelima agenda perumahan rakyat 2009-2014 ini penting untuk dielaborasi lebih jauh lagi. Harapannya siapapun yang menjadi Menpera 1, program perumahan rakyat harus dapat dirasakan oleh masyarakat. Jangan sampai karena hanya berbagi kue kekuasaan pemegang kendali perumahan rakyat kedepan tidak memiliki sense terhadap masalah perumahan. Apalagi orang yang terpilih nanti tidak memiliki rekam jejak terhadap dinamika perumahan rakyat di Indonesia.

Jakarta, 13 Juli 2009
Terimakasih.

Mohon saran, tanggapan atau kritik :
proilham@gmail.com

Jun 11, 2009

Pembangunan Berkelanjutan; Masa Depan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Indonesia

Oleh Ilham M. Wijaya, SE

Kondisi masa depan pembangunan dan permukiman di Indonesia harus diarahkan kepada pola pembangunan berkelanjutan. Hal ini penting guna keberlangsungan pembangunan dan dampaknya terhadap kondisi lingkungan.

Pembangunan berkelanjutan (suistanable development) merupakan falsafah pembangunan yang menaruh perhatian pada keadaan jangka panjang. Dalam The UK Strategis for Suistanable Developement (1990) pengertian suistanable development adalah hidup di bumi dengan pendapatan yang lebih tinggi dari pengurangan kapital. Ini berarti menjaga konsumsi agar tidak melampaui batas dan memberi kesempatan untuk mempengaruhi lingkungan eksternal seperti; udara bersih, konservasi hutan, air bersih, tanah, dll.

Dalam pengertian lain, pembangunan berkelanjutan dapat diartikan dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti luas pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang tidak menurunkan kapasitas sgenarasi yang akan datang untuk melaksanakan pembangunan. Meskipun terdapat penyusutan cadangan sumber daya alam dan memburuknya lingkungan. Tetapi keadaan tersebut dapat digantikan sumber daya lain baik oleh sumber daya manusia maupun sumber daya kapital. Sedangkan dalam arti sempit pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangnan yang tidak mengurangi kemampuan genarasi yang akan datang untuk melakukan pembangunan. Tetapi denagan menjaga agar fungsi sumber daya alam dan lingkungan yang ada tidak menurun, tanpa digantikan oleh sumber daya lainnya.

Pola pembangunan berkelanjutan terdiri dari keseimbangan pendayagunaan lingkungan alam, pelaku pembangunan dan partisipasi masyarakat sebagai pelaku sosial. Ketiga unsur pokok tersebut idealnya berjalan sinergis, tetapi seringkali pembangunan hanya menekankan pada kepentingan bisnis semata tanpa mempedulikan masalah lingkungan dan sosial.

Keseimbangan pembangunan dan perumahan yang ideal terjadi apabila tingkat kesejahteraan masyarakat sudah merata. Sehingga penyerapan perumahan dan penataan perumahan bisa dilakukan dengan kondisi yang memungkinkan. Masyarakat yang sejahtera akan mudah menerima arahan dan aturan untuk mematuhi rencana tata ruang atau menjalankan semua aturan yang berlaku terkait pengembangan perumahan dan permukiman.
Penataan perumahan dan permukiman di Indonesia merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Jumlah penduduk yang sudah mencapai 220 Juta Jiwa serta tingkat pendapatan masyarakat yang masih banyak dibawah standar, telah menyebabkan pemenuhan kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah selalu sulit memenuhi target.

Dalam target Kemenpera tahun 2009 hanya mengurangi kesenjangan penyediaan perumahan dari 5,8 juta unit pada tahun 2004 menjadi 4, 8 juta unit pada tahun 2009 dengan rata-rata penyediaan pertahun mencapai 800 ribu unit. Mengurangi jumlah rumah tidak layak dari 13 juta pada tahun 2004 menjadi 5,8 juta unit pada tahun 2009. Mengurangi kawsan kumuh 54.000 Ha pada tahun 2004 menjadi 27.000 Ha pada tahun 2009.

Melihat target tersebut, penyelenggaraan perumahan dan permukiman di Indonesia masih dalam konteks pembangunan untuk mengurangi, artinya masih ada disparitas yang tinggi terkait pasokan dan permintaan perumahan tersebut.. Apalagi angka-angka tersebut masih diperdebatkan karena bisa jadi belum melingkupi perumahan dan permukiman masyarakat di seluruh pelosok Indonesia.

Dalam upaya membangun perumahan dan permukiman untuk kepentingan masyarakat. Langkah kecil Pemerintah sekarang ini masih bisa dianggap sudah memulai dengan baik. Karena keterbatasan anggaran negara. Proses pembangunan tersebut sulit untuk memenuhi semua kalangan masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah. Prioritas untuk fokus di perkotaan cukup realistis, mengingat tingkat urbanisasi dan ketidak-teraturan tata ruang di perkotaan sudah sangat mengkhawatirkan.

Dinamika industrialisasi yang terjadi di negara berkembang ikut mempengaruhi pola pembangunan di Indonesia. Pembangunan selain berpengaruh terhadap lingkungan alam, juga mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Pembangunan berkelanjutan dalam konteks perumahan dan permukiman diharapkan mampu menjadi guiden semua pihak. Agar penyediaaan kebutuhan perumahan rakyat di masa-masa mendatang tidak semata-mata bersifat fisik semata. Melainkan mempertimbangkan keterpaduan antara aspek alam, sosial aspek ekonomi.

Keseimbangan aspek alam terkait dengan semakin tingginya intensitas pembangunan di perkotaan. Menyebabkan kondisi tanah, air dan udara menjadi rusak. Bidang perumahan dan permukiman yang membutuhkan lahan yang sesuai, tidak dapat dipenuhi karena banyak lahan yang sudah dikuasai oleh pihak lain. Harga tanah juga seringkali berubah-ubah. Misi pembangunan perumahan dan permukiman yang berdimensi sosial menjadi sulit terealisasi karena biaya tinggi dalam proses pembangunannya.

Tantangan ini akan terus terjadi apabila pemerintah tidak segera menyiapkan strategi pembangunan perumahan dan permukiman yang memiliki dimensi berkelanjutan. Salah satu cara dalam menyelesaikan masalah pertanahan tersebut, diperlukan sebuah Lembaga Bank Tanah (land banking) yang bertugas khusus menangani pengelolaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi masyarakat.

Ketersediaan lahan merupakan faktor utama untuk pembagunan perumahan dan permukiman. Jika tidak ada lahan proses pembangunan akan terkendala. Selain itu juga perencanaan kawasan yang terpadu dari mulai pemerintah pusat hingga daerah untuk pembangunan perumahan dan permukiman perlu diperhatikan. Agar pembangunan perumahan dan permukiman tidak melanggar aturan tata ruang.

Sedangkan keseimbangan dari aspek ekonominya, pembangunan perumahan dan pengembangan permukiman kedepan harus difasilitasi oleh Pemerintah Pusat maupun Pemeintah Daerah dengan memeprmudah proses perijinan dan menghapuskan pungutan-pungutan yang memberatkan dunia usaha dan para pelaku pembangunan perumahan.

Tujuan dari proses pembangunan perumahan dan permukiman pada akhirnya harus memiliki dampak sosial. Aspek sosial ini terkait dengan komitmen pemerintah dan dunia usah untuk membantu penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kontribusi tersebut bisa berupa bantuan subsidi kredit perumahan yang terjangkau, bebas biaya uang muka atau penyediaan hunian massal yang bersifat sosial.

Dimensi pembangunan berkelanjutan ini dalam konteks pembangunan bidang perumahan dan pengembangan permukiman di era Desentralisasi harus dapat dikembangkan di Daerah. Dengan melibatkan setiap pemangku kepentingan dari unsur masyarakat. Juga para pelaku pembangunan perumahan. Selanjutnya perlu ada upaya pembinaan dan pemberdayaan komunitas masyarakat perumahan dan permukiman agar arah perkembangannya selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Kesimpulan

Era desentralisasi merupakan momentum berkembangnya bidang perumahan dan permukiman. Karena dimungkinkan adanya pembagian peran penyediaan perumahan dan permukiman sesuai peraturan pemerintah. Sehingga prospek pembangunannya pada waku yang akan datang akan lebih baik.

Namun dalam pelaksanaannya, dibeberapa daerah masih banyak yang belum memiliki Badan/Unit kerja yang fokus di bidang perumahan dan permukiman. Sehingga hal ini menjadi kendala untuk lahirnya kebijakan perumahan rakyat di daerah. Oleh karena itu ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk menjadikan bidang perumahan dan permukiman di masa-masa mendatang dapat lebih optimal, yaitu :

Pertama, Aspek Kelembagaan, aspek kelembagaan ini terkait dengan manajemen perumahan dan permukiman nasional. Restrukturisasi Kementrian Perumahan Rakyat merupakan langkah yang harus segera dilakukan. Restrukturisasi ini menyangkut manajemen kewenangan Kementrian yang perlu ditingkatkan menjadi Departemen dan pembentukan secara khusus bidang perumahan dan permukiman di setiap Pemeritah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kab/Kota.

Kedua, Aspek Pembinaan, konteks pembinaan dalam hal ini merupakan aktivitas transformasi model pembangunan perumahan dan permukiman nasional yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama pembinaan terhadap pelaku pembangunan perumahan atau pemangku kepentingan (stake holder) perumahan dan kedua pembinaan terhadap lingkungan hidup.

Pembinaan terhadap pelaku pembangunan perumahan dan stake holder perumahan yang bisa berupa forum perumahan. Tujuannya adalah untuk membangun kemitraan yang partisipatif antara pemerintah dan masyarakat. Sehingga ada upaya swadaya penyediaan kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau. Sedangkan untuk Pembinaan Lingkungan Hidup terkait dengan peran pengawasan Kemenpera dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan dan konteks perumahan dan permukiman. Hal ini perlu dilakukan pembinaan yang intensif guna terciptanya iklim pembangunan perumahan dan permukiman yang berwawasan lingkungan.

Ketiga, Aspek pembangunan berkelanjutan. Orientasi pembangunan perumahan dan permukiman menjadi lebih berdaya guna apabila diarahkan menuju tercitanya kondisi masyarakat yang memiliki kualitas hidup baik dan kondisi lingkungan yang bersahabat.

Dengan demikian pembangunan perumahan dan permukiman mempunyai pijakan yang jelas dan kuat serta tujuan yang terarah. Sehingga hasilnya sepenuhnya bisa di optimalkan untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat.

Catatan : semua tulisan dari awal sampai akhir mertupakan rangkuman Lomba karya tulis Menpera 2009

saran/kritik; proilham@gmail.com

Terimakasih

Ilham M. Wijaya

Jun 1, 2009

OTONOMI DAERAH DAN STRATEGI PENDANAAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Oleh : Ilham M. Wijaya,SE

Proses penyelenggaraan perumahan dan permukiman akan menghadapi masalah krusial terutama menyangkut masalah pendanaan. Walaupun di era Desentralisasi, sumber keuangan berasal dari Daerah sendiri dan sebagian dari pembagian Pemerintah Pusat melalui; Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Tetapi Daerah sepertinya belum memiliki pemahaman mengenai penyediaan perumahan dan permukiman ini.

Otonomi daerah telah melahirkan pengaruh yang beraneka ragam terhadap pembangunan di daerah. Menurut Syaukani (2002:145) dan diungkapkan kembali oleh Toto Sugiarto dalam Meneropog Indonesia 2025, karakteristik penyelenggaraan Pemerintah Daerah yaitu; pertama, Daerah dibagai kedalam wilayah yang bersifat otonom dan kedalam wilayah administratif, kedua dipakai sistem hierarki disetiap tingkatan pemerintahan. Pada prakteknya kewenangan pusat masih dominan, semua daerah hanya menjalankan fungsi administratif yang melaksanakan kebijakan pusat. Tentunya jika tidak dibenahi dengan peraturan yang relevan, hal ini akan memicu bom waktu dikemudian hari.

UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah mengakomodir kepentingan semua pihak. Dalam UU tersebut ada prinsip keadilan horizontal dan vertikal, terlepas masih ada perdebatan di dalam pelaksanaanya. Dengan UU ini tidak akan ada lagi Daerah yang hanya menikmati kekayaan sumber daya alam (SDA) sendiri. Sedangkan Daerah lain yang tidak memilki SDA juga bisa ikut menikmati. Walaupun dalam pelaksanaanya perlu ada pengawasan dari semua pihak baik di Pusat maupun di Daerah tersebut.

Otonomi daerah sedikit banyak mempengaruhi pola kebijakan penyelenggaraan perumahan dan permukiman di Daerah. Daerah sekarang ini memiliki kewenangan yang besar dalam mengatur daerahnya, kecuali bidang pertahanan dan keamanan nasional, politik luar negeri, moneter dan fiskal, peradilan, agama serta bidang lainnya.

Bidang penyelenggaran perumahan dan permukiman sebagai bagian dari kewenangan Daerah. Sesuai amanat PP No.38 Tahun 2007 daerah diharapkan mampu memfasilitasi dan membantu penyediaan perumahan dan permukiman untuk masyarakat. Dengan mengacu pada perencanaan pembangunan perumahan dan pengembangan permukiman nasional yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perumahan Rakyat di tingkat pemerintah pusat.

Saat ini Dinas atau Unit kerja yang membidangi perumahan dan permukiman di setiap Daerah sangat terbatas. Dinas yang membidangi perumahan dan permukiman masih digabung bersama bidang permukiman atau tata ruang. Bagi Daerah yang masih baru, seringkali malah tidak ada Dinas yang membidangi perumahan dan permukiman.

Kelembagaan yang membidangi masalah perumahan di daerah ini sulit dibentuk karena masalah pembiayaan. Walaupun kebijakan fiskal yang selama ini menjadi kewenangan daerah. Tetapi pembiayaan untuk sektor perumahan dan permukiman masih sulit terealisasi dalam APBD. Padahal sejatinya dengan desentralisasi fiskal, alokasi anggaran untuk bidang perumahan dan permukiman bisa dianggarkan untuk sepenuhnya kepentingan masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah.

Strategi pendanaan untuk sektor perumahan dan permukiman di Daerah bisa diupayakan dengan dua cara intensifikasi dan ekstensifikasi, yaitu :

1. Intensifikasi perolehan pendapatan daerah dimaksudkan untuk mengfektifkan
pendapatan melalui optimalisasi pendapatan rutin daerah seperti; dari sektor
perpajakan, Retribusi Daerah, pendapatan Perusahaan Daerah dan penerimaan lain.

Adapun syarat-syarat untuk mengefektifkan hal tersebut antara lain:
a. Meningkatkan kapasitas Aparat Daerah dalam hal pemungutan pajak dan
pengelolaannya.

b. Mematuhi peraturan perundang-undangan dan tertib administrasi. Agar tidak ada
pungutan dan tindak korupsi.

2. Ekstensifikasi merupakan aktivitas mendapatkan sumber-sumber pendapatan daerah
dari pihak eksternal. Strategi fund rising ini dimungkinkan dengan pihak swasta
yang memiliki komitmen terhadap pengembangan bidang perumahan rakyat. Strategi
ekstensifikasi tersebut bisa dilakukan dengan cara :

a. Membangun kemitraan dengan pihak investor untuk membantu pembangunan sektor
perumahan dan permukiman di daerah

b. Mempermudah perijinan dan memberikan jaminan kemudahan berinvestasi di bidang
perumahan dan permukiman

c. Merangkul dunia usaha untuk memebangun kerjasama saling menguntungkan.
Penggalian sumber-sumber pembiayaan untuk penyelenggaraan perumahan dan
permukiman di daerah harus memiliki legitimasi hukum dari Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) melalui Peraturan Daerah (Perda). Selain itu harus ada political
will dari Kepala Daerah untuk memasukkan sektor perumahan ke dalam Pagu Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Pada prisipnya strategi pembiayaan tersebut akan berhasil, apabila dalam prosesnya mengacu pada prinsip-prinsip good goverment dan good governance . Juga perlu ada pengembangan organisasi sektor perumahan dan permukiman di daerah, baik dari segi prosedur, sistem, dan sarana prasarana yang memadai bagi berhasilnya penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang efektif.

Terimakasih,

proilham@gmail.com

May 27, 2009

TRANSFORMASI MODEL PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI DAERAH

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Setelah mengetahui beberapa aspek pokok yang menjadi gambaran ideal kondisi perumahan di masa mendatang. Maka selanjutnya bagaimana transformasi gagasan ideal ini bisa dipahami dalam tingkatan Daerah. Hingga bisa menjadi panduan setiap daerah untuk membuat program daerah terkait penyelenggaraan perumahan dan permukiman.

Transformasi bisa diartikan sebagai aktivitas menyampaikan gagasan secara berkelanjutan agar bisa dipahami dan diikuti sesuai keinginan dari pemberi gagasan. Namun dalam prosesnya tetap mengedepankan pola dialog partisipatif agar hasilnya lebih optimal, maka perlu ada komitmen semua pihak yang terkait guna membangun sektor perumahan yang lebih baik.

Komitmen bersama tersebut, terkait pemahaman mengenai pentingnya pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat. Seringkali pemerintah pusat maupun daerah menganggap masalah perumahan tidak menjadi perhatian serius. Padahal masalah perumahan diamananatkan oleh UUD 1945, Pasal 48 H "Negara berkewajiban membantu mengadakan rumah yang layak bagi rakyat Indonesia". UU No 25 Tahun 2000 tentang Propenas dan UU Bangunan Gedung Tahun 2003 (Pasal 43 ayat 4) yang mewajibkan Pemerintah Daerah "memberdayakan masyarakat miskin yang belum memiliki akses pada rumah". Serta Deklarasi Habitat I dalam The Nation Conferences Environment dan Development di Rio De Jeinero 1992, Deklarasi Habitat II di Intambul, ”bahwa masalah hunian merupakan hak dasar manusia dan hak semua orang untuk hidup layak dan terjangkau”. Indonesia termasuk negara yang ikut menandatangani deklarasi tersebut.

Untuk melakukan transformasi model penyelenggaraan perumahan dan permukiman ini harus ditentukan terlebih dahulu visi bersama yang terus dikembangkan dalam pelbagai pertemuan ilmiah, seperti ; seminar, lokakarya dan pelatihan-pelatihan. Setiap tingkatan Dinas Perumahan dan Permukiman seluruh Indonesia memiliki visi yang sama. Adapun tahap-tahap untuk melakukan proses transformasi tersebut dapat dilakukan dengan dua aktivitas pokok yaitu institutional building dan capacity building.

Aktivitas institutional building diantaranya :
1. Penguatan organisiasi yang membidangi bidang perumahan dan permukiman menuju
organisasi modern, yang memiliki sistem informasi bidang perumahan dan permukiman
nasional;
2. Pemerintah pusat menyiapkan infrastruktur organisasi dari mulai klasifikasi
pegawai hingga tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sesuai tingkatan.Untuk penempatan
personalia di Daerah.
3. Membuat model indikator panduan mengukur kinerja pembangunan sektor perumahan dan
permukiman nasional sehingga perkembangannya bisa dipantau secara berkelanjutan.

Aktivitas capacity building diantaranya :
1. Meningkatkan pemahaman aparatur birokrasi Daerah mengenai penyediaan public
housing dengan segala aspek terkait.
2. Memperbanyak kajian dan penelitian mengenai implementasi visi bersama yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan dibuatkan beberapa item prioritas kajian
yang akan diolah dalam forum ilmiah (seminar, lokakarya dan pelatihan-pelatihan).
3. Hasil-hasil dari pengkajian tersebut diformulasikan menjadi modul pelatihan
peningkatan kapasitas birokrasi di sektor perumahan dan permukiman di semua
tingkatan.

Terimakasih,

proilham@gmail.com

Mar 31, 2009

Manajemen Pembangunan Perumahan Dan Permukiman Nasional Di Era Desentralisasi

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Istilah manajemen sudah tidak asing lagi berasal dari kata kerja ”to manage” berarti ”control” dan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan; mengendalikan, memimpin, menangani atau mengelola. Pendapat Stonner (1996) menyatakan bahwa manajemen adalah proses mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan pekerjaan anggota organisasi dan menggunakan semua sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang sudah ditetapkan. Manajemen adalah kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus dalam membentuk oganisasi.

Dalam manajemen organisasi pemerintahan, sumber daya tersebut adalah birokrasi. Istilah birokrasi sendiri menurut Max Weber sebagai suatu sistem dalam berorganisasi pada tahun 1890 dimana organisasi tersebut bebas prasangka, diatur secara kedinasan dan rasional.

Sedangkan definisi perumahan sendiri adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Definisi permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Istilah Desentralisasi atau otonomi daerah adalah kewenangan Daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Manajemen perumahan dan permukiman dapat dibagi menjadi dua hal pokok, yaitu; menyangkut sistematika hukum organisasi yang mengatur sektor perumahan dan permukiman secara nasional dan indikator kinerja organisasi perumahan dan permukiman dimasa mendatang.

Sistematika hukum terkait dengan hubungan pola koordinasi organisasi dari Pemerintah Pusat hingga ke Pemerintah Daerah. Sistematika hukum yang digunakan saat ini belum memiliki visi bersama sehingga kurang cukup memberikan dukungan pada struktur Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dalam implementasi kebijakannya. Untuk itu dalam mengatur sektor perumahan dan permukiman di era Desentralisasi perlu ada legitimasi hukum.

Setiap level pemerintahan harus memiliki komitmen untuk menuju pada visi bersama. Kemudian ada legitimasi hukum yang mengatur setiap Dinas Perumahan Provinsi dan Dinas Perumahan Kab/Kota dan setiap aktivitas yang terkait dengan sektor perumahan. Dalam proses penyusunan program partisipasi masyarakat di setiap level dimungkinkan untuk terlibat aktif. Agar prosesnya sesuai dengan harapan masyarakat. Pelaksanaan struktur manajemen pembangunan perumahan dan pengembangan permukiman nasional tersebut akan berjalan baik apabila memenuhi persyaratan dibawah ini, yaitu :

1. Pembentukan Dinas Perumahan atau Unit kerja yang khusus membidangi masalah
perumahan dan permukiman terdapat di semua Daerah.
2. Terdapat anggaran pembangunan yang feasible untuk membangun bidang perumahan dan
pengembangan permukiman.
3. Adanya sumber daya manusia (SDM) yang handal dalam bidang perumahan dan
permukinan.

Sekarang ini masalah utama yang muncul dalam menjalankan struktur manajemen perumahan nasional tersebut adalah setiap Daerah banyak yang belum memiliki Dinas Perumahan. Sehingga sulit sekali untuk membangun komunikasi dalam menentukan program pembangunan perumahan dan permukiman nasional. Untuk itu langkah pertama yang perlu dilakukan untuk Kemenpera di masa mendatang adalah mempercepat adanya Dinas Perumahan di setiap Daerah sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah No.38 Tahun2007.

Selain masalah kelembagaan yang belum ada. Masalah utama lainnya adalah mengenai anggaran biaya untuk bidang perumahan dan permukiman sangat terbatas. Setiap Daerah diprediksi sulit mengalokasikan dana untuk bidang perumahan dan permukiman. Mengingat kebutuhan prioritas lainnya seperti; anggaran pendidikan, kesehatan dan kemiskinan mendesak harus dipenuhi. Untuk menyiasati hal ini daerah bisa membangun kemitraan bisnis dengan pihak swasta dengan memberikan insentif baik dari segi perijinan maupun sektor pajak.

Dari segi sumber daya yang memahami bidang perumahan dan permukiman. Daerah harus mulai melakukan pelatihan-pelatihan untuk menghasilkan birokrasi yang memahami secara mendalam bidang public housing dengan segala aspek terkaitnya.

Setelah semua prasyarat terpenuhi untuk menjalankan manajemen pembangunan perumahan dan permukiman nasional. Selanjutnya dibutuhkan visi bersama yang menjadi cita ideal bidang perumahan dan permukiman. Visi bersama tersebut dirumuskan bersama antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sebetulnya pada era tahun 90-an pemerintah melalui Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah (KIMPRASWIL) telah menghasilkan visi pembangunan perumahan dan permukiman 2020 yang berisi : ”setiap orang (KK) Indonesia mampu memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau pada lingkungan yang sehat dan aman harmonis dan berkelanjutan dalam upaya terbentuknya masyarakat berjatidiri, mandiri dan produktif”. Visi tersebut terangkum dalam gagasan yang cukup komprehensif yaitu Kebijakan Dan Strategi Nasional Pembangunan Perumahan Dan Permukiman (KSNPP).

Kebijakan ini berdasarkan pada program arahan dari Pelita V dan UU No. 4 Tahun 1992.
Secara konseptual KSNPP sudah lengkap dan baik. Kebijakan KSNPP mengalami perubahan karena dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Perubahan antara lain dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri KIMPRASWIL No. 217/KPTS/M/2002 tentang Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman.

Pada era pemerintahan sekarang ini, Kemenpera memiliki banyak program yang terkait dengan perumahan rakyat. Namun program-program tersebut bisa dikatakan hanya sebatas program seremonial yang bersifat jangka pendek. Karena apabila mengacu kepada syarat manajemen pembangunan perumahan dan pengembangan permukiman. Maka Kemenpera selama ini belum bisa optimal menjalankan programnya.

Untuk mengoptimalkan peran dan kepentingan pembangunan perumahan rakyat dapat diwujudkan melalui dua hal pokok, kedua hal pokok itu antara lain :
1. Adanya Departemen Perumahan di tingkat Pemerintah Pusat dan Dinas Perumahan di
tingkat Pemerintah Daerah Provinisi dan Pemerintah Daerah Kab/Kota seluruh
Indonesia. Keberadaan Departemen ini berbeda dengan Kementrian Negara. Departemen
memiliki kewenangan menentukan anggaran dan mengelolanya sampai ke struktur
organisasi tingkat Daerah. Dari mulai perrencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan
dapat dioptimalkan. Meski demikian ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan keberadaan Departemen Perumahan tersebut, yaitu : Legitimasi
atau pengakuan dari berbagai pihak baik dari aspek hukum dan perundang-undangan,
kelembagaan negara, maupun yang mendukung keberadaan Departemen ini.Sinergi kerja
dengan berbagai Lembaga dan Instansi yang terkait terutama menyangkut besaran
subsidi kredit perumahan dengan Depkeu, kerjasama dalam hal pembangunan
kelistrikan dengan PLN, kordinasi masalah pertanahan dengan BPN.

2. Adanya blue print strategi transformasi model pembangunan perumahan dan
permukiman secara nasional dengan Dinas Perumahan ditingkat Provinsi dan Kab/Kota
yang jelas dan menyeluruh serta memperlihatkan profesionalisme kerja.
Dalam kaitan blue print tersebut ada beberapa indikator yang perlu dikaji lebih
jauh. Indikator yang dimaksud adalah sebuah pernyataan yang merupakan cerminan
dari aspek-aspek penting tentang masa depan ideal pembangunan perumahan dan
permukiman nasional. Idealnya indikator ini dihasilkan dari proses diskusi
panjang semua pemangku kepentingan perumahan dan permukiman di semua tingkatan
pemerintahan. Namun sebagai gambaran indikator tersebut terdiri dari beberapa
aspek dibawah ini, diantaranya;

A. Aspek Kebijakan
- Adanya kebijakan penyelenggaraan perumahan dan permukiman dengan prioritas
masyarakat berpenghasilan rendah. Mengoptimalkan kebijakan realisasi
pembangunan dengan perbandingan 1:3:6.
- Anggaran Kebijakan Anggaran Perumahan rakyat dapat dialokasikan minimal 1% dari
total APBN.
- Adanya kebijakan pemberian insentif bagi pelaku pembangunan perumahan dan
permukiman baik lembaga formal, informal maupun perorangan.

B. Aspek Kelembagaan
- Terbentuknya Dinas Perumahan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kab/Kota disetiap Daerah.
- Terbentuknya lembaga atau badan perijinan one stop services yang mengurusi
bidang perumahan dan permukiman, untuk mendorong keterpaduan kepentingan
antara; Badan Pertanahan Nasional (BPN), Perusahaan Listrik Negara (PLN),
Birokrasi Pemda dan pihak swasta.
- Adanya SDM birokrasi yang handal terkait bidang perumahan dan permukiman.
- Pembinaan pelaku pembangunan perumahan dan stake holder perumahan melalui forum
pelaku pembangunan perumahan dan permukiman serta stakeholder perumahan untuk
mendapatkan masukan yang lebih partisipatif.

C. Aspek Pembiayaan
- Pengembangan sistem pembiayaan perumahan nasional yang bisa lebih menjangkau ke
semua lapisan masyarakat.
- Pengembangan sistem pembiayaan perumahan nasional yang terintegrasi. Dalam hal
ini sangat dimungkinkan untuk dibentuk Lembaga Keuangan atau Bank yang khusus
membidangi Perumahan dan Permukiman.
- Optimalisasi kinerja lembaga alternatif pembiayaan perumahan seperti; PT SMF,
Bapertarum-PNS,dll.

D. Aspek Pertanahan dan Tata ruang
- Adanya kebijakan pertanahan dan tata ruang untuk perumahan dan permukiman
masyarakat yang berpenghasilan rendah.
- Adanya pengendalian tata ruang tingkat nasional dan wilayah yang terintegrasi
dalam satu kesatuan sistem. Dalam hal ini ada sebuah blue print tentang
pembangunan kawasan untuk perumahan dan permukiman.
- Pengembangan lahan dan tata ruang diarahkan untuk pembangunan berkelanjutan
yang berdimensi sosial.

Dengan konsistensi dalam menjalankan setiap kebijakan bidang perumahan dan permukiman serta didukung oleh birokrasi yang handal. Tujuan blue print tersebut bisa tercapai. Langkah selanjutnya untuk untuk menjalankan blue print tersebut. Perlu ada transformasi model pembangunan yang bisa menggerakkan visi besar pembangunan perumahan dan pengembangan permukiman nasional.

Jakarta, 31 Maret 2009

Terimakasih,


proilham@gmail.com

Feb 24, 2009

Formulasi Atasi Masalah Perumahan di Era Otonomi Daerah

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Permasalahan pembangunan perumahan dan permukiman tidak bisa dilihat dari satu perspektif saja, melainkan perlu dilihat secara holistik. Karena penyelenggaraan bidang perumahan dan permukiman akan berimplikasi kepelbagai aspek kehidupan diantaranya; aspek politik, aspek ekonomi, aspek sosial-budaya dan aspek lingkungan.

Aspek politik terkait political will terhadap kebijakan perumahan baik dari segi kelembagaan maupun dari segi subsidi bidang perumahan dan permukiman yang berpihak kepada seluruh masyarakat. Aspek ekonomi menyangkut nilai bisnis pembangunan perumahan yang cukup tinggi. Aspek sosial-budaya terkait dengan proses interaksi masyarakat di dalam suatu kawasan perumahan dan permukiman yang perlu pembinaan. Aspek lingkungan menyangkut keseimbangan alam akibat pembangunan perumahan dan pengembangan permukiman yang tidak memperhatikan norma lingkungan sehingga menyebabkan bencana banjir dan krisis air tanah.

Fenomena krisis perumahan dan permukiman bertambah kompleks dengan meningkatnya jumlah penduduk. Karena sejak era reformasi tidak digalakkan lagi program Keluarga Berencana (KB). Sehingga terjadi pertambahan penduduk yang tidak terkendali. Akibatnya kebutuhan perumahan dan permukiman semakin tinggi, yang sulit diimbangi dengan tersedianya perumahan yang layak dan memadai.

Namun pemerintah telah berupaya sejak tahun 1970 untuk memperhatikan bidang perumahan dan permukiman. Dengan adanya Kementerian Negara yang fokus membidangi masalah perumahan rakyat (Kemenpera). Kementerian ini memiliki fungsi yaitu; untuk merumuskan kebijakan nasional di bidang perumahan rakyat, sebagai kordinator pelaksanaan kebijakan perumahan rakyat, pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kemenpera, pelaksanaan operasionalisasi kebijakan penyediaan rumah dan pengembangan lingkungan perumahan, melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Kemenpera dan terakhir menyampaikan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan bidang perumahan rakyat kepada Presiden.

Keberadaan Kemenpera disatu sisi sangat dibutuhkan, tetapi disisi lain fungsinya sangat terbatas. Terutama menyangkut kewenangan dalam mengatur secara komprehensif manajemen penyelenggaraan perumahan dan permukiman secara nasional. Keterbatasan tata pemerintahan di setiap tingkat berdampak pada lemahnya implementasi kebijakan yang telah ditetapkan. Setiap kebijakan Kemenpera di Daerah sulit sekali dipantau dengan baik. Hal ini dikarenakan Kemenpera tidak memiliki struktur organisasi di Daerah. Daerah sendiri seringkali menganggap kebijakan perumahan merupakan hak preogratif Daerah yang bisa dilaksanakan atau tidak. Disamping itu karena langkanya SDM yang memahami mengenai public housing dengan segala aspeknya.

Kebijakan pembangunan perumahan sejak reformasi mengalami perubahan yang signifikan, yaitu terkait dengan perubahan sistem ketata-negaraaan dari Sentralisasi menjadi Desentralisasi. Era Desentralisasi sebetulnya bisa menjadi momentum untuk membagi peran pembangunan perumahan kepada setiap Daerah. Dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Daerah memiliki wewenang dan kewajiban menyediakan perumahan rakyat mulai dari pembiayaan, pembinaan perumahan formal dan swadaya, pengembangan kawasan, pertanahan, pembinaan teknologi, hingga pengembangan pelaku pembangunan perumahan.

Permasalahan yang akan muncul dikemudian hari, terkait implementasi kebijakan ini adalah tidak adanya landasan hukum yang memperkuat struktur di Pusat untuk melakukan intervensi kebijakan. Sehingga pembangunan bidang perumahan dan permukiman hanya diserahkan ke Daerah saja tanpa ada pengawalan yang tersistem dari struktur Pemerintah Pusat.

Apabila penyelenggaraan perumahan dan permukiman tidak memiliki satu kesatuan sistem yang integratif. Maka pertanyaan yang akan muncul adalah bagaimana manajemen pembangunan dan perumahan di era Desentralisasi?. Bagaimana transformasi model pembangunan perumahan dan permukiman tersebut?. Disaat semua daerah sudah memiliki otonomi dalam mengelola anggarannya.

Kalaupun Daerah dipaksa dengan PP 38 Tahun 2007 agar ikut serta menyediakan perumahan. Masalah tidak bisa selesai sampai disitu, karena Daerah akan kesulitan mencari sumber dana yang potensial untuk membantu pengembangan perumahan. Selain itu Daerah juga akan kebingungan jika arahan dari pusat tidak memiliki petunjuk teknis yang sudah integratif menyangkut besaran subsidi model pembangunan dan partisipasi masyarakat yang ideal untuk membantu suksesnya program pembangunan perumahan di daerah.

Untuk itu menjelang Pemilu 2009 mendatang, masalah-masalah ini akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak terselesaikan oleh Kementerian Perumahan Rakyat era Kabinet SBY-JK. Sebagai bahan masukan tulisan ini akan menyampaikan formulasi yang ampuh untuk menyelesaikan setiap persoalan pengembangan perumahan dan permukiman rakyat di era otonomi daerah. Tulisan-tulisan kedepan akan bersambung, mencoba mengupas masalah dan solusi perumahan di era otonomi daerah.

Terimakasih,


Jakarta, 24 Februari 2009


proilham@gmail.com

Jan 5, 2009

Proyeksi Properti 2009

Oleh : Ilham M. Wijaya,SE

Pada tahun 2009 para pelaku bisnis properti akan berharap cemas dengan produk yang digarapnya, apakah bisa diserap pasar atau malah akan over supply?. Kondisi ini dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi pada tahun depan yang akan mengalami penurunan cukup drastis.

Kemajuan sektor properti sangat ditentukan oleh perekonomian. Ibarat sebuah Kereta Api, perekonomian merupakan Lokomotif dan sektor properti adalah gerbongnya. Jika lokomotifnya mengalami pelambatan maka gerbongnyapun akan mengalami kondisi yang sama. Ada juga pandangan yang menganggap bahwa sektor properti bisa berdiri sendiri tanpa dipengaruhi secara langsung kondisi perekonomian.

Perbedaan pandangan mengenai hubungan perekonomian dan sektor properti memang kerap terjadi. Namun demikian untuk memproyeksikan pertumbuhan sektor properti pada tahun 2009. Pendekatan yang paling feasible adalah dengan melihat konteks sekarang, yaitu kondisi krisis global dan kondisi pasar properti baik dari segi pasokan, permintaan dan harga jual.

Kondisi krisis global saat ini akan mempengaruhi sistem ekonomi dalam negeri. Terutama pasar uang dan pasar modal. Media kedua pasar tersebut adalah Perbankan. Sebagai regulator, Pemerintah perlu menerapkan kebijakan moneter yang mendorong stabilitas kredit perbankan. Di sektor properti, beban bunga bank (BI rate) yang tinggi akan memberatkan konsumen dan meningkatnya kredit bermasalah (non performance loan).

Jika kondisi perekonomian dalam negeri mendapat proteksi yang tepat dari Pemerintah, kondisi sektor properti akan stabil. Namun hal ini hanya terjadi pada sub produk properti tertentu, karena kebijakan pemerintah terkait penyelamatan ekonomi tidak semuanya akan berimbas positif bagi kebelangsungan sektor properti.

Secara umum sub produk properti terbagi dalam beberapa jenis, diantaranya; Residensial, Perkantoran, Ritel, Apartemen/Kondominium dan Perhotelan. Sub produk properti tersebut juga terdiri dari beberapa kelas/grade. Grade A untuk konsumen kelas Atas dengan harga yang sangat tinggi, Grade B berada dikisaran konsumen menengah-atas, dan Grade C untuk konsumen kelas menengah. Sedangkan untuk konsumen bawah atau berpenghasilan rendah. Biasanya tidak diklasifikasikan sesuai grade, melainkan sesuai nama jenis produk, misalnya; rumah sehat sederhana (Rsh), Ruman susun milik (Rusunami), dll.

Kondisi sektor properti saat krisis ini, sub produk properti residensial adalah yang paling terkena imbasnya. Baik untuk kelas real estat maupun Rsh. Beban bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang tinggi akan menghambat pembayaran konsumen terhadap Bank. Jika kondisi ini berlarut-larut, dikhawatirkan pada tahun 2009 banyak konsumen yang akan mengalami gagal bayar. Kredit macet yang jumlahnya besar akan berakibat pada krisis perbankan yang pada akhirnya terjadi krisis moneter, seperti terjadi pada krisis tahun 1998.

Untuk produk properti perkantoran, akan mengalami penurunan demand hingga bisa terjadi over supply. Padahal pasokan ruang perkantoran di Jakarta terus bertmbah, hingga awal tahun 2008 terjadi peningkatan sebanyak 197.303 m2 yang berasal dari selesainya pembangunan; Menara Prima, Pacific Place, Sentral Senayan 2, The East, Menteng Office Park, dan Pluit Junction. Sehingga diproyeksikan hingga tahun 2009 ruang perkantoran banyak yang tidak terisi karena pengurangan karyawan berakibat pada kebutuhan space kantor menjadi berkurang.

Bidang Ritel yang terdiri dari Pusat Perbelanjaan Sewa (trade center) dan Pusat Perbelanjaan Jual (mal). Pada tahun 2009 akan tetap bertahan dan kemungkinan terjadi peningkatan penjualan (surplus konsumen). Hal ini dikarenakan sektor ritel lebih banyak dipengaruhi oleh daya beli konsumen yang didominasi masyarakat menengah. Apalagi konsumen sekarang ini banyak dimanjakan oleh fasilitas kartu kredit dan kemudahan lainnya dalam berbelanja. Untuk permintaan space gerai akan tetap stabil, apabila ritel tersebut memiliki konsep yang unik.

Sedangkan sub produk properti yang akan tetap bertahan di era krisis adalah produk Apartemen sewa maupun apartemen jual (kondominium) grade A yang merupakan konsumsi masyarakat kelas Atas. Pengembangan Apartemen/Kondominium di Jakarta khususnya di kawasan primer Sudirman – Kuningan – Gatot Subroto (CBD) pasokannya terus meningkat dan kondisi penjualannya tetap stabil.

Dari hasil riset Property Riset Institute (PRI) Jakarta. Di kawasan CBD Jakarta tercatat sebanyak 53 apartemen. Pada tahun 2009 mendatang akan terdapat tambahan yang berasal dari selesainya pembangunan Oakwood Premier Cozmo, Cityloft, Sahid Sudirman, Pacifiic Place, Thamrin Residences, Mediterania Marina Tower C, Marbella Kemang Tower A, dan Mediterania Garden Residence Tower 2. Hingga akhir tahun 2009 diperkirakan akan terdapat tambahan pasokan baru dengan jumlah sekitar 13,000 unit yang berasal dari 17 proyek. Secara keseluruhan produk properti tersebut dapat diserap pasar diatas 80%.

Khusus untuk sub produk properti Hotel, kondisinya akan tergantung lokasi Hotel tersebut. Untuk perhotelan yang berada di kawasan wisata seperti di Bali. Occupantion room (OR) hotel akan tetap stabil. Permintaan room walaupun wisatawan asing akan mengalami penurunan tetapi hal ini akan di kaver dengan wisatawan domestik. Sedangkan yang berada di Jakarta, OR hanya mengandalkan event-event meeting dan conferences.

Secara garis besar kondisi bisnis properti di tahun 2009 akan dibayang-bayangi krisis dan faktor eksternal yang sulit diprediksi. Namun demikian yang perlu menjadi perhatian untuk menghadapi krisis ini adalah dengan memahami kondisi pasar secara tepat. Walaupun hukum pasar selalu akan berlaku yaitu suatu produk akan berawal dan berakhir di pasar. Artinya akan ada produk yang tumbang oleh pasar dan akan muncul market leader disaat kondisi krisis terjadi. Siapa market leader di bisnis properti tersebut?. Tentunya mereka yang memiliki kelebihan modal dan pengalaman. Kita tunggu!.

Jakarta, 6 Januari 2008
Terimakasih