Dec 17, 2007

Global Warming, Neoliberal dan Prilaku kita

Oleh: Ilham M. Wijaya

Kini kita semakin yakin bahwa persoalan mendasar dari masalah dunia saat ini adalah masalah prilaku manusia, pemanasan global (global warming) yang menjadi isu hangat saat ini pada akhirnya kembali kepada konteks prilaku manusia. Sejauh mana manusia dapat menjadi subjek yang memberikan ketenangan dan kedamaian di alam bumi ini. Hal itu tentunya sangat sulit diterapkan apabila melihat kenyataan yang ada sekarang ini, paham neoliberalisme lebih mempengaruhi pola interaksi sosial dan ekonomi masyarakat sehingga hal-hal yang menyangkut etika publik dan masa depan dunia menjadi dipertaruhkan oleh keinginan materialisme sesaat.

Neoliberalisme sungguh menakutkan, paham ini terus bermetamorfosis dalam berbagai bentuk yang terakhir adalah bentuk budaya. Budaya popular yang terus dihembuskan oleh penganut neolib telah berdampak pada perubahan prilaku sosial yang pada akhirnya membentuk karakter 'homo economicus' tanpa batas. Kondisi ini apabila dibiarkan berlarut-larut maka implikasinya ada dua hal pertama, terjadinya dehumanisasi dan kedua,perubahan iklim dunia yang mengarah pada kehancuran.

Seperti halnya yang terjadi saat ini, konfrensi perubahan iklim untuk mensikapi kondisi bumi yang sudah sampai titik nadir akibat ulah manusia. Ternyata sangat sulit menyatukan paham untuk menentukan masalah iklim dunia yang semakin mengkhawatirkan. Para peserta dari negara berkembang dan negara maju cukup sulit menerima bali road map. Keangkuhan Negara adidaya dan berkembang itu semata-mata karena paham pembangunan yang lebih beroreintasi neolib, artinya mereka akan rugi ketika harus mengikuti bali roadmap dimana didalamnya ada keharusan mengurangi penggunaan energi untuk indsutri. Hal ini menunjukkan bahwa ideologi kapitalisme telah membentuk pemikiran dan prilaku yang rakus dan serakah hingga menyebabkan dunia ini diambang kepunahan.

Pemanasan global bukan hanya sekedar isu, tetapi ini sudah menjadi fakta yang dapat menjadi masalah besar dikemudian hari. Dari data World Resources Institute tahun 1994 menunjukkan bahwa pada tahun 1991 AS mengkonsumsi energi hampir tiga kali lipat lebih banyak dari Jepang untuk menghasilkan 1 dolar AS GNP-nya. Dengan penduduk yang hanya 4,6 persen dari penduduk dunia, pada tahun 1991 AS menghasilkan 22 persen emisi global CO2. Dengan pola konsumsi energi sebagai indikator bagi lingkungan yang berkelanjutan, kelahiran bayi di AS menghasilkan 2 kali lipat dampak lingkungan bagi bumi dibandingkan seorang bayi yang lahir di Swedia, 3 kali lipat dibanding di Italia, 13 kali lipat dibanding Brazil, 35 kali dari India, dan 140 kali lipat dibanding Bangladesh.

Dari data tersebut kita akan melihat betapa besar kebutuhan energi negara maju di dunia ini yang disadari atau tidak telah berpengaruh terhadap kondisi bumi. Kebutuhan energi di Negara maju ini disebabkan oleh faktor pola hidup yang serba mewah dan kebutuhan industri yang tidak memperhatikan aspek lingkungan.
Pola hidup masyarakat di Negara maju, rata-rata menggunakan fasilitas AC, rumah luas dengan penghuni sedikit, kendaraan berenergi fosil, pakaian berbahan kulit binatang, penggunaan air yang berlebihan, makanan yang bersumber dari kimiawi dan yang paling penting adalah industrialisasi di Negara-negara maju terutama Amerika Utara dan Eropa. Telah menyumbang sekitar 22 milyar ton karbon per tahun–terutama dari konsumsi BBM, industri, dan penebangan hutan. Di antara negara maju, penyumbang emisi terbesar adalah Amerika (36,1%) disusul Rusia (17,4%), Jepang, dan negara Eropa lainnya dalam persentase kurang dari 10%. Bandingkan dengan negara-negara berkembang seperti Asia, Amerika Selatan, dan Afrika yang “cuma” menyumbang sekitar 4 milyar karbon per tahun–itu pun bukan dari industri, melainkan perubahan penggunaan lahan.

Setelah konfrensi perubahan iklim berakhir kemarin (16/12) dengan kesepakatan yang terbilang sukses, yaitu adanya kesepakatan pengurangan emisi karbon, adanya kesepakatan pembayaran insentif untuk mengurangi deforestasi melalui mekanisme REDD, terjadinya kesepakatan mengenai transfer teknologi penangkapan dan oenyimpanan karbon (CSS) dari negara maju ke negara berkembang. Dari semua hasil kesepakatan itu maka seluruh masalah perubahan iklim dunia akan mengacu pada bali roadmap.

Walaupun ada kemajuan dalam konfrensi perubahan iklim di Bali, Namun sangat disayangkan dari skema bali roadmap, oreintasi neoliberal masih sangat kental. Pembayaran insentif, pengurangan emisi karbon dengan perhitungan sesuai rate yang dikeluarkan setiap negara dan berbagai macam proyek perubahan iklim lainnya. Saya memprediksi dana-dana yang mengalir kebeberapa program ini akan sulit dimonitoring, apalagi negara berkembang rentan dengan praktek Korupsi.

Kekhawatiran ini cukup beralasan, karena penanganan perubahan iklim ini sebetulnya tidak harus menggunakan pendekatan neoliberalisme seperti terjadi saat ini. Kecenderungan pola-pola neoliberal terlihat lebih dominan dibandingkan dengan cara-cara pengembangan kebudayaan dan kearifan penanganan iklim diseluruh dunia. Para peserta konfrensi rupanya larut dengan perlawanan teradap negara maju untuk mengeluarkan insentifnya agar mengganti dana perbaikan iklim di negara berkembang. Padahal agenda itu seharusnya tidak perlu diprioritaskan tetapi menjadi isu kedua setelah adanya komitmen yang terstruktur dan terkontrol dengan baik mengenai komitmen bersama mengurangi emisi karbon dan standar hidup maksimal meliputi gaya hidup, pemakaian rumah, penggunaan air, pakaian atau yang sejenisnya disemua negara di dunia.

Solusi permasalahan pemanasan global tidak hanya terkait dengan perbaikan hutan, pengurangan emisi karbon dengan mengganti energi fosil menjadi energi biofuel, atau mengurangi instrialisasi di seluruh negara. Tetapi yang lebih penting adalah kembalikan dimensi humanisme dalam beragam kehidupan baik melalui pendidikan agama ataupun kearifan spiritualitas lainnya. Inilah keyword utama yang harus didorong semua pihak, agar masa depan dunia tidak menjadi hantu yang menakutkan bagi anak cucu kita.


Jakarta, 16 Desember 2007

proilham@gmail.com

Dec 12, 2007

Efektifitas REIT di Indonesia

Oleh : Ilham M. Wijaya

Disaat iklim usaha properti mengalami kegamangan akibat kondisi makro ekonomi yang tidak menentu, muncul wacana tentang perlunya pemerintah menerapkan Real Estate Investment Trust (REIT) atau lebih dikenal dengan istilah Property Trust. REIT merupakan instrumen investasi berupa surat berharga yang bisa dibeli investor dari perusahaan properti yang menerbitkannya. Surat berharga ini sama dengan surat saham yang mencerminkan kepemilikan atas sebuah perusahaan tertentu. Bagi perusahaan penerbit REIT, ada banyak keuntungan yang bisa diperoleh, biasanya dana yang diperoleh dari penerbitan REIT dipakai untuk restrukturisasi utang atau ekspansi usaha.

Namun persoalannya di Indonesia minat masyarakat untuk membeli saham REIT masih dipertanyakan, inilah kendala terbesar mengapa REIT sulit diterapkan di Indonesia. Meskipun kondisi ini tidak bisa langsung disimpulkan karena kondisi pasar bisa berubah. Selain itu dari segi regulasi yang akan mengatur REIT ini masih butuh waktu panjang, karena sesuai dengan prosedrunya Pemerintah perlu membuat lembaga yang dapat mengontrol aktivitas REIT dan DPR membuat Undang-undang untuk memayungi aktivitas REIT. Prosedur itu tentunya membutuhkan waktu lama. Apalagi dari segi bisnis REIT di Indonesia nilai kapitalisasi asetnya masih terbilang kecil. Inipun belum bisa dijadikan patokan, karena bisa jadi REIT yang diterbitkan didalam Negeri akan diminati masyarakat dalam dan luar negeri. Sehingga industri prorperti bisa terdongkrak maju.

Pengalaman penerpan REIT dari Negri tetangga memberikan pelajaran yang baik, terutama Singapura, sejak diterapkan REIT pada tahun 2002 yang lalu nilai kapitalisiasi pasarnya sudah mencapai Sin$26 miliar (US$17,22 miliar) atau kedua terbesar di Asia setelah Jepang. Dari angka tersebut tentunya kalau dikelola dengan baik akan memacu pertumbuhan ekonomi disuatu Negara.

Selain di Singapura, penerapan REIT sidah diberlakukan di beberapa Negara tetangga seperti; Malaysia, Vietnam, Thailand dan Jepang. Banyaknya Negara yang menerapkan REIT di kawasan Asia menandakan bahwa kawasan Asia mempunyai potensi yang sangat besar untuk investasi properti. Hanya Indonesia saja yang masih bergeming dan masih mencari formulasi yang tepat untuk memberlakukan REIT, mengingat kendala terbesar bangsa yang berpenduduk 220 juta juwa ini adalah masalah kesejahteraan sehingga sangat sulit untuk mengundang masyarakat untuk terlibat dalam investasi properti. Kalaupun ada yang masih merespon intrumen investasi ini, maka kelompok tersebut adalah kelopok yang memang memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi dan itupun masih belum bisa dipastikan apakah kalangan atas di Indonesia tertarik dengan REIT?.

Dari sekian banyak kendala yang dihadapi apabila REIT diterapkan di Indonesia, kekhawatiran lainya adalah mengenai pungutan pajak bagi para investor yang membeli saham di pasar REIT, selama ini di Indonesia belum ada aturan hukum yang mengatur mekanisme pemberlakuan pajak bagi pelaku bisnis di pasar REIT. Kalau di Malaysia pajak tetap diberlakukan bagi pelaku di pasar REIT, sedangkan di Singapura pajak dibebaskan. Sehingga tidak heran kalau banyak para pelaku bisnis properti tertarik dengan pasar REIT Singapura, seperti halnya Group Lippo yang pada Desember tahun lalu melakukan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham First REIT di Bursa Saham Singapura dengan target perolehan dana sebesar Sin$99,7 juta atau sekitar US$64,3 juta. Ternyata hasilnya PT Lippo Karawaci Tbk berhasil meraup dana Rp 2 triliun. Dana tersebut merupakan diversifikasi portofolio properti dan aset yang berkaitan dengan properti di Indonesia.

Keberhasilan Group Lippo ini banyak diikuti oleh para pelaku bisnis properti di Indonesia, namun sangat disayangkan investasi tersebut dilakukan di luar negeri. Padahal kalau investasi itu dilakukan di Indonesia, maka pasar saham di Indonesia akan banyak dilirik oleh pihak luar. Tetapi lagi-lagi aturan dari pemerintah untuk merealisasikan itu tidak bisa langsung selesai, butuh waktu pengkajian terutama menyangkut prospek pasar properti di Indonesia.

Prospek properti di Indonesia ini akan memberikan gambaran yang dapat menjadi bahan analisa untuk penerapan REIT di Indonesia, menurut riset yang dilakukan PT SGT-KS International Consultant Properti, kecenderungan meningkatnya pasokan properti di Indonesia memang tidak selalu dikuti oleh daya serap pasar yang stabil, terkadang kondisinya malah menurun dan sulit utnuk kembali merangkak naik. Hal ini dipengaruhi oleh stabilitas ekonomi dan sosial politik di Indonesia yang tidak pasti. Tetapi berdasarkan data perkembangan pembangunan properti hingga kuartal tiga tahun 2007 kecenderungan itu relatif tidak terjadi, daya serap pasar terhadap produk properti terbilang tinggi rata-rata produk properti sektor kondominium dan apartemen di Jakarta sudah melampaui target pemasaran yaitu diatas 70 %, kalaupun ada yang masih dibawah itu, produk properti tersebut masih relatif baru dipasarkan ke publik.

Sehingga dalam waktu 10 tahun kedepan prospek industri properti di Indonesia masih memberikan peluang yang positif, dan penerapan REIT bisa efektif apabila diikuti oleh keseriusan pemerintah dan pengembang untuk menyusun aturan dan mekanisme yang bisa memajukan sektor properti dan perekonomian nasional.

Jakarta, 12 Desember 2007

Nov 19, 2007

Kenaikan Harga Minyak Mentah Dan Prospek Industri Properti

Oleh : Ilham M. Wijaya

Kenaikan harga minyak mentah Internasional telah memicu kekhawatiran semua kalangan, termasuk para pelaku bisnis properti. Kekhawatiran ini cukup beralasan karena lonjakan kenaikan minyak yang mendekati 100 Dollar AS per barrel akan mempengaruhi perekonomian terutama menyangkut kenaikan suku bunga dan tingkat inflasi secara nasional. Apabila kondisi ini tidak cepat pulih, maka kondisi industri properti akan kembali mengalami keterpurukan.

Padahal kalau kita lihat pada akhir kuartal tiga tahun 2007, pasokan produk properti subsektor apartemen dan kondominium di Jakarta berkembang cukup pesat, total kumulatif pasokan baru ini berjumlah 44.997 unit. Sedangkan daya serap pasar masih berkisar antara 60%-70%, kalaupun ada yang tingkat penjualannya sudah mendekati 90 %, proyek tersebut rata-rata dibangun dibawah tahun 2005. Untuk proyek baru yang tahap kontruksinya rata-rata dimulai tahun 2006 dan 2007, maka tantangan kedepan adalah kondisi makro ekonomi yang tidak menentu.

Proyek baru yang banyak bermunculan ini sebelumnya memang tidak memperhitungkan bakal terjadinya kenaikan minyak dunia. Karena kondisi perekonomian nasional sejak kuartal pertama tahun 2007 terus menunjukkan kinerja yang positif untuk investasi. Terbukti dengan menurunnya suku bank Indonesia dan meningkatnya kredit properti yang disediakan oleh perbankan, ditambah daya beli masyarakat juga sudah mulai membaik.

Beberapa pengamat memprediksi akan terjadi booming properti pada tahun 2010, karena diperkirakan pada tahun tersebut semua proyek properti sudah mulai beroperasi dengan asumsi harga jual meningkat tajam. Namun melihat kondisi sekarang ini, prediksi tersebut bakal meleset, melihat fakta kenaikan minyak dunia saat ini, bisa jadi industri properti akan mengalami resesi. Resesi ini akan dimulai dengan macetnya kredit properti, kemudian biaya proyek tinggi sedangkan daya serap pasar rendah karena daya beli masyarakat menurun serta harga produk properti baik sewa maupun jual berada pada posisi tetap. Kondisi inilah yang tidak menggairahkan kondisi industri properti.

Kenaikan minyak dunia ini memang disisi lain akan menguntungkan bagi Negara pengekspor minyak. Keuntungan ini bisa berlipat ganda apabila Negara tersebut mampu mengekspor minyak dalam skala besar. Indonesia yang dulu terkenal dengan Negara kaya minyak, sekarang sudah tidak bisa lagi menikmati booming harga minyak, karena investasi eksplorasi minyak di Indonesia sudah lama mengalami penurunan. Dari total kebutuhan minyak dalam negeri ternyata tidak mencukupi sehingga sisanya harus di import dari Negara lain.

Kenaikan harga minyak ini bukan hanya masalah ekonomi melainkan sudah masuk kepada masalah politik global, tanpa menafikan masalah itu. Harga minyak dunia sudah naik, apabila kenaikan ini berlangsung lama maka beban anggaran semua sektor produksi akan meningkat. Lain soal kalau kenaikan minyak dunia ini hanya berlangsung sesaat, kondisi perekonomian akan kembali membaik.

Dari sekian banyak fakta kondisi makro ekonomi Indonesia, pertanyaan kemudian bagaimana membuat strategi menghadapi kondisi makro ekonomi yang tidak menentu, agar industri properti bisa tetap eksis dan bisa menghasilkan keuntungan yang sempurna?. Pertanyaan inilah yang ada dalam benak pelaku bisnis properti.
Pelaku bisnis properti selalu memiliki kepekaan terhadap kondisi Perekonomian karena aktivitas bisnisnya akan berkaitan langsung dengan struktur ekonomi. Apabila kondisi perekonomian tidak cepat pulih maka solusi yang terbaik untuk mengamankan aset dan investasi di bidang properti adalah dengan cara mengalihakan investasi kebidang lain yang tentunya memenuhi syarat keamanan investasi dan memiliki nilai keuntungan yang besar.

Namun investasi di sektor properti ini tetap memberikan peluang untuk mendapat keuntungan maksimal, karena pada dasarnya investasi disektor properti bersifat jangka panjang, dengan catatan investasi di bidang properti itu memenuhi syarat legalitas hukum dan faktor lokasi investasi.

Dengan demikian persoalan yang dihadapi dunia properti saat ini harus dilihat sebagai siklus yang akan mengalami fluktuasi. Walaupun fluktuasi ini akan membunuh pelaku bisnis properti yang tidak memiliki kehandalan mengelola bisnis properti termasuk yang memiliki modal minim. Bagi yang handal maka persoalannya hanya masalah waktu untuk mendapat keuntungan. Artinya berpikir secara melingkar untuk berinvestasi dibidang lain yang masih memiliki tingkat keamanan investasi dan prospektif adalah langkah yang tepat untuk dilirik oleh para pelaku bisnis properti.


Jakarta, 19 Nopember 2007

Nov 2, 2007

Program 1000 Menara Rusun Efektifkah!

Oleh: Ilham M. Wijaya

Ide pembangunan rumah susun sedehana (Rusunawa) berawal dari keinginan pemerintah menata ruang pemukiman di perkotaan, juga untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat menengah bawah. Seiring semakin meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan tempat tinggal diperkotaan cukup tinggi.

Pembangunan Rusun ini adalah solusi yang realistis untuk mengatasi masalah pemukiman penduduk di perkotaan. Mengingat luas lahan di perkotaan sangat terbatas sedangkan jumlah penduduk terus bertambah. Tetapi hal itu tidak akan bertahan lama. Persoalan pemukiman penduduk ini akan kembali terjadi. Karena pembangunan Rusun dengan subsidi dari Pemerintah seringkali beralih fungsi menjadi rusun komersil yang diperjualbelikan. Sehingga warga yang sebagai pemilik kembali kepemukiman lama. Inilah dilema dari program rusun di Jakarta.

Pengalaman pembangunan Rusun di Jakarta pada tahun 1980-an. Awalnya ingin membenahi tata ruang kota yang semrawut dari pemukiman penduduk. Namun yang terjadi Rusun-rusun tersebut malah sudah beralih fungsi. Misalnya; Rusun Kebon Kacang, sekarang sudah menjadi pemukiman kelas atas menengah karena lokasinya dekat dengan pusat bisnis Thamrin. Rusun di Tebet yang berasal dari penggusuran di kawasan Senayan sekarang dihuni oleh kalangan menengah-atas.

Peralihan fungsi ini disebabkan oleh banyak hal diantaranya; pertama, biaya sewa dianggap warga memberatkan, sehingga warga memilih untuk menjual unit Rusun tersebut kepada pihak lain. Kedua, Motivasi warga dari awal ingin memperjualbelikan unit Rusun tersebut agar mendapat keuntungan. Ketiga, warga tidak terbiasa tinggal di Rusun yang desain bangunannya gedung bertingkat. Dari sekian banyak penyebab terjadinya peralihan fungsi tersebut, kalau dilihat akar masalahnya adalah mengenai sentralisasi pusat bisnis di Jakarta yang telah berdampak pada masalah kesenjangan ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu muncul persoalan tata ruang dan wilayah.
Penyelesaian masalah sektor pemukiman di Jakarta dengan membangun Rusun hanyalah bersifat sementara. Artinya pembangunan Rusun tetap akan menyimpan masalah dikemudian hari. Oleh karena itu apabila pemerintah ingin betul-betul menyelesaikan tata ruang di Jakarta secar integratif, sebaiknya pemerintah mengkaji ulang konsep pembangunan daerah penyangga ibukota. Atau dalam wacana yang pernah digulirkan Sutiyosa yaitu Megapolitan, patut mendapat perhatian.

Dilema pembangunan Rusun ini sudah pasti disadari oleh Pemerintah. Tetapi karena kebutuhan pemukiman mendesak bagi warga berpenghasilan rendah. Pemerintah mengambil kebijakan sesuai skala prioritas yaitu menyelesaikan masalah pemukiman dengan membangun Rusun. Dengan segala keterbatasannya, pemerintah ingin memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakatnya. Karena membangun konsep tata ruang baru yang benar-benar mengubah semua tata letak dan kawasan di Jakarta membutuhkan biaya yang besar.

Namun yang perlu menjadi perhatian semua pihak, insentif pajak bangunan yang diberikan pemerintah kepada para pengembang dalam membangun 1000 menara Rusun, harus diikuti oleh pengawasan yang intensif agar tujuan membenahi pemukiman ini bisa tercapai. Karena pengembang seringkali tidak memperhatikan faktor pembangunan berkelanjutan yang berdimensi sosial. Untuk itu Rusun yang sudah dan akan dibangun harus diawali dengan memorandum of understanding (MoU) untuk tidak mangkir dari tujuan mulia membangun Rusun ini.

Begitu pula dengan penghuni Rusun kelak, para pemilik tidak diperkenankan memperjualbelikan unit Rusun tersebut kepada pihak lain, adanya limit waktu kepemilikan bagi warga yang menetap di kawasan rusun, warga yang berhak menetap di rusun tersebut adalah warga menengah bawah. Peraturan tersebut harus ditegaskan oleh pemerintah melalui legalitas hukum. Sehingga penyimpangan yang terjadi baik yang dilakukan oleh pengembang atau pemilik unit Rusun dapat ditindak sesuai hukum.
Peraturan mengenai pengelolaan Rusun ini dari segi konsep bisa jadi sudah komprehensif, tetapi implementasi di lapangan masih jauh dari harapan.

Sehingga Rusun tersebut perlahan berubah fungsi. Untuk menangani masalah ini Pemerintah harus segera membuat langkah-langkah yang lebih progresif agar kejadian sebelumnya tidak terulang kembali. Pembentukan Badan Khusus untuk menangani Rusun merupakan langkah solutif agar masalah-masalah yang terjadi sejak perencanaan sampai pengelolaan kawasan Rusun ini bisa ditangani secara terpadu dan fokus oleh sebuah badan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat secara profesional.

Walaupun inisiatif ini akan mengeluarkan anggaran Negara. Tetapi fungsi dan manfaatnya dapat dirasakan dikemudian hari. Program pembangunan Rusunawa jangan sampai hanya sekedar membangun tanpa memperhitungkan efektifitas dari program tersebut. Apalagi kalau program ini ternyata disengaja untuk menguntungkan segelintir orang dengan mendapat proyek pembangunan. Untuk itu yang terpenting adalah adanya keseriusan dan tanggung jawab semua pihak untuk membangun konsep pemukiman yang beroreintasi kepada pemenuhan kebutuhan tempat tinggal masyarakat kelas menengah bawah secara integratif dan profesional.

Jakarta, 6 September 2007

Oct 25, 2007

Memahami Siklus Ekonomi Dan Siklus Property

Oleh Ilham M. Wijaya

Siklus properti atau perputaran usaha properti bisa dianalogikan dengan permainan bola tennis, kondisinya bisa menurun kemudian akan meningkat dan menurun kembali dan terus mengalami fluktuasi.

Suatu siklus atau perputaran dalam ekonomi disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya oleh perekonomian global dan faktor fundamental dalam eknomi, sifat siklus ini bisa sangat cepat bisa juga sangat lambat tergantung dari faktor yang mempengaruhinya. Faktor fundamental tersebut diantaranya; tingkat inflasi/deflasi suatu negara, stabilitas ekonomi-politik dan manajemen perbankan.

Indonesia saat ini bisa dikatakan sedang berada pada siklus ekonomi yang baik hal ini ditandai dengan suku bunga rendah, artinya bank sentral sebagai pengendali arus kas sedang menjaga stabiltas harga barang-barang di dalam negeri, biasanya kalau terjadi stagnasi ekonomi, harga barang jatuh, suppy tinggi tetapi tidak diikuti oleh demand sehingga mengakibatkan inflasi, pada kondisi ini bank sentral akan menurunkan suku bunga, demikian juga sebaliknya apabila kondisi perekonomian lesu harga-harga tinggi bank sentral akan melakukan hal serupa.

Menurut Davis (2004) siklus properti ditentukan oleh hubungan dinamis antara properti komersial, kredit bank, ekonomi makro. Demikian juga menurut Hoffman (2001) terdapat hubungan positif antara kredit riil dengan GDP riil dan harga properti riil, serta adanya hubungan dinamis interaksi dua arah antara kredit riil dengan harga properti riil.

Perubahan siklus dalam ekonomi akan terus terjadi seiring dengan perkembangan ekonomi global dunia, dalam konteks sederhana perubahan siklus ini terjadi misalnya ; kondisi ekonomi lesu, pengangguran meningkat, produktifitas menurun sebaliknya kondisi ekonomi bergairah, pengangguran kecil dan produktifitas meningkat. Kondisi ini akan terus berputar sesuai dengan perkembangan faktor fundamental ekonomi.

Sedangkan pengertian dari siklus property secara sederhana adalah masa perputaran kegiatan usaha disektor property yang mengalami fluktuasi, kadang sektor property lesu, supply melebihi demand, harga-harga produk property jatuh, margin usaha kecil. Namun bisa jadi sebaliknya kegiatan usaha property bergairah, demand melebihi supply, harga produk property tinggi, dan margin usaha besar.

Penyebab siklus tersebut beragam, ada asumsi yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah pelaku usaha property yang salah membuat proyeksi demand, sehingga kadang-kadang membajiri pasar, kadang-kadang kekurangan pasokan. Ada juga asumsi yang mengakatan penyebabnya adalah kesalahan pemerintah dalam menerapkan kebijakan ekonomi yang tidak strategis dan merugikan kalangan usaha property.

Asumsi-asumsi tersebut memang ada benarnya namun kalau dianalisa penyebab terjadinya siklus property, diakibatkan oleh faktor-faktor yang sulit diprediksi, misalnya ; bencana alam, perubahan cuaca, stabilitas politik dalam negeri. Dengan demikian faktor supply sebetulnya lebih menarik untuk dikaji.

Usaha property tentunya akan memperhatikan pekembangan supply untuk memenuhi kebutuhan konsumen, kejelian melihat supply ini adalah bagian dari kompetisi antar pelaku usaha untuk menjadi market leader, keuntungan menjadi market leader adalah dapat melakukan penguasaan produk yang akan menghasilkan keuntungan maksimal terhadap produk yang dijualnya.

Kompetisi di usaha property saat ini sedang bergairah, beberapa group pengembang besar saling berlomba untuk menguasai pangsa pasar property tersebut, sebut saja misalnya ; Group Agung Podomoro dengan proyek mercusuarnya Central Business District (CBD Pluit, sedangkan Group Lippo menggarap property mixiused Kemang Village. Persaingan ini tentunya mengedepankan prouduk unggulan masing-masing baik dari segi aksesibilitas, fasilitas, teknologi, prestise, arsitektur bangunan, design interior, dll.

Dalam kondisi persaingan tersebut, tentunya konsumen akan menentukan pilihan, begitu juga para investor akan menggulirkan dananya di produk property yang lebih menguntungkan. Dengan demikian akan ada kompetitor yang leading dan kompetitor yang progressnya tidak sebagus yang lain.

Ketika kondisi ini terjadi akan ada dua kemungkinan yaitu yang pertama harga-harga produk property akan jatuh, produk property melimpah dan ada juga kompetitor yang berhasil menjual habis seluruh produk propertinya dan mendapatkan keuntungan maksimal. Pada kondisi ini pemenang kompetisi perlahan akan menguasai usaha property dengan mengembangkan diberbagai bidang, sedangkan yang tergeser akan kesulitan mengembangkan usahanya karena beban usaha tinggi. Sehingga harus mengurangi beban usaha dengan menutup usaha atau mengalihkan kesektor yang low risk. Itulah masa konsolidasi usaha property, lalu munculah pemain-pemain baru dengan ide-ide atau teknologi baru dan berlomba-lomba untuk menjadi leader yang baru, demikian proses berulang dan terjadilah siklus property.

Namun melihat perkembangan usaha property sejak kuartal I 2007 sampai kuartal III 2007 di Jakarta, tingkat penjualan beberapa proyek baru sekitar 70 %, sehingga bisa dikatakan siklus property berjalan normal, yang menjadi pertanyaan apakah para pemain di usaha property ini masih berputar pada group tertentu atau ada pemain baru yang cukup berhasil. Dengan melihat perputaran para pelaku usaha property maka kita akan dapat memastikan bahwa siklus usaha disuatu bidang sehat atau tidak.

Proses siklus ini terjadi secara terus menerus dan berulang-ulang, untuk daerah tertentu mungkin siklusnya agak berbeda, misalnya usaha property bisa jadi berada didepan memimpin pertumbuhan ekonomi, seperti halnya di provinsi Bali, apabila sektor propertynya lesu bisa dipastikan kondisi ekonominya di Bali kurang bagus. Sebaliknya didaerah lain, usaha property tidak memberikan pengaruh yang cukup siginifikan, Dengan demikian apabila para pelaku usaha property bisa memproyeksikan siklus ekonomi secara tepat maka akan mempermudah untuk mengetahui siklus property,
Sejatinya memang semua bisa berjalan dinamis dan berada direl yang tetap, namun karena masalah ekonomi selalu berkaitan dengan faktor eksternal maka para pelaku usaha harus memiliki kepadandain dalam melihat prospek usaha proeprty dimasa datang agar tidak terjebak pada pertumbuhan ekonomi semu.


*tulisan ini di muat di Harian Bisnis Indonesia 4 Agustus 2007

Ilham M. Wijaya
proilham@gmail.com

May 28, 2007

Neoliberalisme Dan Solusi Kebangsaan

Istilah neoliberalisme bisa jadi asing bagi masyarakat awam, tetapi kalau terminologinya disederhanakan seperti ‘ekonomi konglomerat” sepertinya mudah dipahami oleh semua kalangan. Sebagai wujud metamorfosa sistem ekonomi klasik neoliberalisme mempunyai sejarah panjang hingga sampai saat ini disebut dengan istilah’neo” yang berarti lanjutan dari liberalisme.

Mengurai kembali sejarah teori ekonomi kita akan menemukan beragam teori, dari teori yang ada kita akan menemukan kata ekonomi klasik yang dicetuskan oleh Adam Smith (1723-1790) menurutnya bahwa kerja dan uang jauh lebih penting dan berharga sebagai status, martabat dan identitas kemanusiaan daripada harkat dan martabat manusia[1].. Terminologi seperti ini jela berbahaya bagi kelangsungan sistem kehidupan.

Dalam perkembangannya liberalisme ekonomi dibidani oleh tiga tokoh besar yaitu bermula dari gagasan teosofik Martin Luther King, kemudian dikuatkan secara filosofik oleh Benjamin Franklin dan dari segi ekonomi Adam Smith memberikan penjelasan secara rinci tentang dasar-dasar ekonomi yang tujuannya tidak lain untuk menciptakan pengaruh seluas-luasnya dalam memaksimalkan keuntungan sebesar-besarnya.

Perjalanan sejarah kemanusiaan di dunia kalau kita amati memang tidak lepas dari pengaruh kepentingan ekonomi politik, karena hal ini didukung oleh basis teori filsafat atau teosofi. Seperti semangat gold, glory and gospel yang terjadi di masa lalu dalam perjalanannya terus bermetmorfosa dalam bentuk yang berbeda-beda. Maka kelahiran paham ekonomi klasik Adam Smith (1776) waktu itu mendapat legitimisi keilmuan hingga bermetamorfosa sampai sekarang dengan berubah istilah menjadi neoliberalisme.

Memasuki Abad XIX terjadi krisis kosolidasi modal yang cukup bepengaruh terhadap fenomena dunia. Beberapa negara di Eropa terlibat krisis internal dengan maraknya revolusi kaum buruh dan negara-negara kapitalis bergerak kearah penguasaan daerah jajahan secara simultan. Pengaruh dominasi wilayah jajahan ini ternyata tidak diikuti oleh konsolidasi negara yang mempunyai watak kolonial. Pada akhirrnya terjadi peperangan yang melibatkan warga dunia. Kondisi ini disebut dengan tragedi Perang Dunia I (PD I) dan Perang Dunia II (PD II).

Kondisi carut-marut ini telah mengakibatkan bisnis militer menanjak pesat diiringi dengan korban jutaan jiwa akibat perang, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) sebagai lembaga dunia tidak bisa berbuat apa-apa yang pada akhirnya bubar. Pada saat yang sama negara terjajah mendapatkan momentum untuk mendirikan negara berdaulat. Ratusan negara bangsa di wilayah itu berdiri. Sebagai nation-state di Asia-Afrika. Puncak akhir krisis ditandai dengan dibentuknya Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945 dengan human right sebagai dasar pergaulannya.

Pada pertengahan Abad XIX dunia mengalami demiliterisasi dimana aktivitas bisnis adalah hal yang utama, dan kekuasaan politik tidak memiliki tugas apa-apa selain melindungi sistem perdagangan bebas. Pada masa ini pula perdagangan bebas menjadi icon setiap negara. Perusahaan Multinasional bermunculan, Perusahaan Transnasional pun demikian.

Kemudian pendulum pun bergerak istilah globalisasi memasuki Abad XX membawa pengaruh besar bagi sistem perekonomian setiap negara. Istilah ini sengaja diciptakan untuk mempermudah liberalisme itu dilakukan oleh setiap negara. Dalam konteks ekonomi bentuknya seperti pinjaman/utang luar negeri, pasar bebas (free market), swastanisasi BUMN, pencabutan subsidi, perusahaan multinasional TNC/MNC, dll.

Henri Veltmeyer dan James Petras (2000) mendefinisikan neoliberal merupakan kelanjutan dari tradisi klasik modernisme[2]. Gagasan ini merupakan pengembangan dari teori Adam Smith pendulum Kapitalisme. Selain itu Joseph E. Stiglitz menyatakan bahwa globalisasi dengan mantra pasar bebas sudah menjadi survival strategy bagi negara Adikuasa[3].

Kalau memang -sebagaimana diungkapkan di atas- argumen-argumen tersebut jelas belum lengkap, apabila tesis ‘neoliberalisme’ tidak ditunjang oleh penelitian dan data yang akurat. Selain itu pula pengkajian tentang neoliberalisme harus dilihat dari ragam perspektif, ada tiga perspektif analisa yang bisa membedah neoliberalisme. Pertama analisa antropologi struktural[4] dan kedua analisa ekonomi-politik[5]. Ketiga, analisa agama, Sehingga kepopuleran konsep ini bisa dilihat secara jernih

Antropologi Struktural Neoliberalisme
SESUAI dengan tesis Adam Smith tentang prinsip ekonomi. Secara stuktural liberalisme muncul akibat dari pola interaksi dan pemahaman terhadap fenomena sekitarnya yang sangat materialistik.

Stuktur sosial yang sering muncul hampir diseluruh daratan dunia adalah komunitas. Komune atau kumpulan individu ini hidup dalam satu kelompok dan terus berevolusi mencapai komunitas modern. Terminologi saat ini untuk menandai komune itu dikenal dengan dua istilah yaitu (etnic) suku dan (klan) desa. Dari kedua model tesebut sering kali terjadi akulturasi hingga menyebabkan muncul struktur baru misalnya dalam perkawinan adat, atau kerjasama dagang.

Namun tidak sebatas ini struktur itu terbentuk, kenyataan yang terjadi serinkali tidak bisa dipisahkan antara dua kelompok tersebut atau malah perkembangan keduanya cenderung tidak memebrikan interpretasi positif bagai pembentukan struktur. Dalam hal ini ada dua pemikiran yang berbeda, Pemikiran pertama berdsarkan prinsip evolusional dan pemikiran kedua prinsisp difusional.

Keduanya mempunyai perbedaan dalam menginterpretasikan komunitas. Suku bisa terbenntuk dengan sendirinya akiabt proses sosial. Namun bagaimana kalau evolusi itu diandaikan tidak berjalan pada relnya. Artinya difusional memegang peran penting dalam membentuk struktur sosial baru. Sebetulnya perbedaan yang mendasar dari kedua interpretasi tersebut terletak pada pengambilan landasan observasi struktur. Para difusional mengambil observasi dari fakta, fenomena yang terjadi, dari fenomena itu melahirkan bentuk-bentuk struktur baru yang diklaim sebagai sumber struktur sosial. Bagi para evolusionis observasi dimulai dari sejarah terdahulu mengkaji sistem pembentuk dari awal sampai akhir hingga kesimpulannya ada unsur lain yang membentuk struktur.

Kembali pada konteks analisa antropologi struktural neoliberalisme, kita mendapatkan gambaran. Bahwa neoliberalisme seringkali dianggap resep mujarab bagi negara yang sedang menagalami krisis ekonomi pembangunan, hal ini mungkin didasari oleh fakta struktural ketika itu yang sebetulnya secara difusional itu merupakan penggabungan dari beberapa fusi sosial yang notabenenya belum mendapat kajian secara mendalam. Selain itu evolusional neoliberalisme memiliki kelemahan dalam memberikan data tentang masa lalu manusia yang sejak dahulu hidup dengan kearifan lokal masing-masing. Jadi jelas bahwa konsepsi struktural neoliberalisme ini lemah dan rapuh. Kemungkinan terjadinya post-neoliberalisme akan sangat tinggi apabila kubu neolib ini tidak menyiapkan struktur masa depan baru.

Ekonomi-Politik Neoliberlisme
Trend tunggal kapitalisme yang bersifat ekonomistik merupakan ciri dari era neoliberalisme saat ini, melalui cara-cara proteksionisme, korporatisme, pasar bebas dan program sosialis tersentralisasi. Sebelum Abad XX, negara-negara dunia memperebutkan kepentingan politik ideologis. Dunia seakan sudah terkotakan dari berbagai macam ideologis seperti ; Monarki di Prancis, Fasisme di Italia, Komunisme di Rusia, dan Demokrasi Liberal di beberapa negara bagian Amerika. Sedangkan Jerman, Amerika, Jepang memilih bergerak di sektor ekonomi dengan melakukan imperialisme di seluruh penjuru dunia yang melahirkan liberalisme dalam aktivitas ekonomi.

Pasca Abad XX negara-negara di dunia secara simultan bergerak kearah ekonomi yang berorientasi pasar dalam bingkai pembagian kerja kapitalisme global. Kesejahteraan memang terjadi di setiap negara maju dan beberapa negara berkembang yang disebabkan oleh kapitalisme yang dikendalikan hampir sepenuhnya oleh teknologi. Pada gilirannya, teknologi dianggap sebagai inkubator bagi rezim liberal untuk meminta balas jasa kepada setiap negara yang menggunakan fasilitas teknologi yang sengaja diciptakan untuk mengendalikan ekonomi politik diseluruh dunia.

Aktivitas Neo-Liberalisme yang dilakukan sekarang ini oleh rezim liberal dalam persaingan internasional telah memunculkan pengangguran yang luar biasa besarnya di negara-negara maju maupun negara berkembang. Hal tersebut tidak bisa dihindari selama ketergantungan setiap negara terhadap industri dan teknologi liberal, walaupun semuanya berusaha sekuat tenaga agar lebih kompetitif di era global. Oleh sebab itu negara yang tidak memiliki social capital akan mengalami keruntuhan.

Ekonomi Liberalisme mengendaki adanya kebebasan dalam berbagai hal. Politik mendapat ruang sebagai pelindung kebebasan itu, Retorika politik dianggap sebagai penghambat laju liberalisme apabila laju perdagangan bebas dibatasi, pembangunan multidimensional di perketat perijinannya, campur tangan negara begitu dominan. Dengan demikian Liberalisme meniscayakan ketrerlibatan peran negara.

Untuk itulah Keynes mencoba mengambil jalan tengah dengan cara mengatur lingkaran bisnis dalam jangka panjang, mengendalikan stabilitas uang, mengatur dan mengontrol defisit anggaran negara dengan melibatkan peran negara dalam mengendalikan ekonomi makronya dengan tujuan agar terjadi kesejahteraan masyarakat sipil. Namun rekayasa sosial yang digagas oleh Keynes ternyata masih menyimpan masalah. Di beberapa kasus, krisis negara ternyata tidak mampu menstabilkan kondisi ekonomi makronya, sehingga perubahan kesejahteraan sangat tergantung pada masyarakat sipil yang masih mempunyai prinsip-prinsip budaya lokal yang syarat dengan nilai etik.

Isu ekonomi sangat terkait dengan kehidupan sosial politik namun ada pandangan beberapa praktisi ekonomi yang keliru yang disebabkan oleh wacana ekonomi kontemporer yang menganggap ekonomi sebagai salah satu sisi kehidupan dengan hukum-hukumnya sendiri, terpisah dari masyarakat dan realitas sosial lainnya. Dilihat dengan perspektif seperti ini, ekonomi adalah sebuah wilayah individu-individu yang lahir untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat-hasrat pribadi semata, sedangkan realitas sosial yang riil tidak diperhatikan. Disisi lain aktivitas ekonomi merupakan salah satu arena yang dinamis dari sosiabilitas manusia. Setiap proses produksi, baik yang berskala kecil maupun produksi yang berskala besar, akan membutuhkan kolaborasi sosial dari umat manusia dalam hal ini pekerja. Secara tidak langsung pekerja hanya bekerja untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan individu kelompok tertentu.

Ketidakseimbangan tersebut akan mengarahkan pekerja pada keterasingan diri dari masyarakat luas ‘meminjam istilah Marx adalah Alienasi’ buruh hanya memikirkan pekerjaan dan bagaimana meningkatkan produksi. Tujuan buruh sebetulnya bukan hanya untuk memperoleh gaji, insentif atau bonus dari perusahaan melainkan untuk mendapatkan pengakuan atas martabatnya, dihargai sebagai manusia merdeka bukan sebagai manusia yang selalu tergantung oleh materi.

Penutup
Dari uraian yang sudah disampaikan dimuka maka kita sama-sama khawatir bahwa negara ini akan kembali kemasa-masa awal yaitu masa kolonialisme, dimana semua hak dan martabat kemanusiaan sudah tercerabut dan diatur oleh otoritas yang dinamakan dengan imperialis. Tentunya kita tidak berharap demikian, untuk membangun keseiimbangan terhadap arus besar neoliberalisme ini. Saya mempunyai dua pendekatan yaitu pendekatan struktur dan pendekatan teologis.

Pendekatan struktur berarti kita harus mempercayai sistem prosedural demokrasi suatu negara. Menarik kalau kita cermati kondisi aktivitas neoliberal ini dalam konteks kebijakan publik. Negara ternyata menjadi kata kunci dalam membendung arus neoliberal ini. Secara administratif ketatanegaraan kalau ada peluang masuknya unsur neolib dalam konstitusi negara maka harus ada upaya perlawanan yang dilakukan negara. Misalnya dalam, hal ini kubu neoliberal di Indonesia sering kali menganggap bahwa UU Migas, UU SDA, UU Ketegalistrikan harus mempunyai semangat swastanisasi sehingga akan mempercepat prose pertumbuhan ekonomi.

Dalam hal ini, maka DPR dan Mahkamah Kontitusi sebagai penjaga gawang terakhir perlawanan terhadap ekonomi neoliberal ini, harus menolak setiap ada usulan RUU yang bersemangatkan liberalisme ekonomi. Dari segi eksekutif pemeritah harus berupaya membangun kemandirian ekonomi dengan nasionalisasi sektor ekonomi, mengembang sistem ekonomi kerakyatan untuk menyeimbangkan pasar dan menyejahterakan masyarakat.

Kedua dari analisa teologis memang harus dimulai dari pemuka agama dan jalur intelektual, mereka harus menyampaikan secara terus menerus tentang paham neoliberalisme yang sangat jauh dari cita ideal kontruksi agama manapun. Sebagai bentuk praktisnya misalnya ada upaya penyamaan visi pemuka agama untuk menolak ekonomi neoliberal, mendeklarasikan gerakan anti neoliberalisme yang melibatkan semua agama.

Terimakasih,

proilham@gmail.com

May 27, 2007

BIsakah BUMN Untung Tanpa Privatisasi?

Judul dimuka sengaja dibuat untuk memberikan perbandingan pendapat (second opinion) terhadap gagasan Menteri BUMN baru Sofyan Djalil yang mengatakan ingin menjadikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai perusahaan terbuka (Bisnis Indonesia, 8 Mei 2007). Artinya BUMN kedepan akan melakukan privatisasi dengan menjual sahamnya ke investor atau publik, gagasan ini cukup rasional karena dengan melibatkan pihak swasta atau publik dalam perolehan saham perusahaan negara maka diharapkan pihak eksternal ikut menjalankan dan mengontrol BUMN.

Namun yang jadi soal, privatisasi sampai sekarang belum menunjukkan kinerja yang baik, lemahnya sistem kontrol, landasan hukum yang multi interpretasi, kepentingan politik dan korupsi telah mengakibatkan kebijakan privatisasi menajdi kontraproduktif.

Privatisasi pada hakekatnya adalah melepaskan dominasi negara kepada pihak lain. Melalui pembagian asset yang dimiliki BUMN, pembagian asset ini bisa dengan metode Initial Public Offering (IPO) yaitu menjual saham perusahaan dengan go public di stock exschange nasional maupun internasional, Joint Venture, Merger atau metode lainnya.

Tujuan privatisasi awalnya memang untuk meningkatkan kinerja BUMN, namun ditengah perjalanan, privatisasi malah merugikan dan banyak menghasilkan konflik politik dan korupsi. Misalnya pengalaman pemerintah memprivatisasi PT Indosat menunjukkan prestasi yang kurang bagus, pemerintah tidak bisa mencapai target perolehan keuntungan, yang terjadi malah BUMN yang tidak diprivatisasi menunjukkan kinerja yang baik dan hampir menyaingi PT Indosat.

Tujuan privatisasi yang dilakukan pemerintah saat ini hanya berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan untuk menutup defisit APBN. Tujuan ini kurang strategis dan bertentangan semangat UUD 1945 Pasal 33, dimana dalam pasal itu pemerintah wajib menjadikan kekayaan negara untuk kepentingan rakyat Indonesia, pertumbuhan tanpa pemerataan telah mengakibatkan kesejangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang cukup tinggi.

Walaupun beberapa kali pemerintah menegaskan bahwa keberadaan BUMN sepenuhnya untuk mensejahterakan rakyat, namun dalam realisasinya kinerja BUMN sulit berkembang, beberapa fakta menunjukkan pola birokrasi di BUMN sangat panjang, kemudian dari segi tranparasi dan akuntabilitas BUMN masih dipertanyakan, keadaan seperti ini yang mendorong pemerintah melakukan privatisasi padahal seharusnya pemerintah bisa menahan hasrat swastanisasi ini dengan cara yang lebih mudah dan murah yaitu dengan melakukan restrukturisasi secara progresif dan reformatif.

Kebijakan Menteri baru BUMN Sofyan Djalil yang akan membuka semua BUMN untuk publik dikhawatirkan akan menuai konflik, apalagi ini menyangkut kekayaan negara dan hajat hidup orang banyak. Sejatinya Menteri BUMN melakukan optimalisasi aset BUMN dan melakukan penilaian ulang terhadap seluruh kekayaaan BUMN di Indonesia.

Meskipun langkah ini terkesan lamban, namun dari segi oreintasi jangka panjang ini sangat bermanfaat untuk generasi yang akan datang. Kalaupun ada strategi jangka pendek untuk meningkatkan kinerja BUMN dengan cara melibatkan pihak eksternal, Kementerian ini harus bisa menjembatani produk Undang-undang (UU) BUMN yang dihasilkan oleh DPR dengan pihak kedua baik dari sektor swasta mapun perseorangan.

Semangat privatisasi BUMN oleh pemerintah memang sudah mendapat legitimasi dari DPR, melalui UU BUMN pemerintah dibolehkan melakukan privatisasi terbatas sebesar 30 % dari seluruh saham yang dimiliki. Angka 30 % ini diharapkan mampu meningkatkan keuntungan BUMN, namun perbedaan pendapat mengenai penentuan jumlah pembagian saham dalam operasionalnya sering terjadi, disatu sisi pemerintah ingin meraup keuntungan maksimal dengan meningkatkan batas angka privatisasi dari 30 % menjadi 50 %, disisi lain DPR sudah membatasi.

Dari kenyataan ini bisa diambil kesimpulan kehendak liberalisasi sektor BUMN ini diprakarsai oleh pemerintah dan DPR dengan setengah hati, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR tidak berani mengambil sikap apakah akan pro liberalisasi atau memang sangat proteksionis. Kebimbangan ini yang telah mengakibatkan sektor usaha kecil menengah menjadi terganggu.

Apabila pemerintah berani melakukan liberalisasi dengan memprivatisasi seluruh BUMN maka keadaannya menjadi lain, pemerintah akan banyak tergantung dengan pasar modal dan pasar internasional, artinya hukum pasar bebas berlaku. Pertumbuhan ekonomi memang meningkat tajam, keuntungan dapat diraih maksimal, namun dalam jangka panjang kebijakan ini akan membunuh secara perlahan generasi yang akan datang demikian juga dengan eksistensi bangsa dan Negara Indonesia menjadi di pertaruhkan.

Lantas bagaimana kalau pemerintah tidak melakukan privatisasi BUMN? Adakah cara agar BUMN tetap untung dan rakyat bisa merasakan kesejahteraan dari perusahaan milik negara ini?. Jawabannya jelas ada karena dalam teori ekonomi selalu ada teori maintstream dan non mainstream, teori non mainstream ini adalah teori yang lebih menekankan pentingnya regulasi yang adil dan mempunyai kecenderungan menjaga integrasi nasional dari kepentingan eksternal yang masih belum bisa dipastikan pure business.

Pilihan kebijakan yang lebih aman tentunya harus lebih dikedepankan, karena UU BUMN telah menegaskan maksud dan tujuan pendirian BUMN terdiri dari; fungsi komersial dan fungsi sosial. Maka kalau BUMN hanya mengejar laba tanpa memperhatikan kondisi sosial, akan mengakibatkan munculnya berbagai patologi sosial.

Jumlah BUMN dibawah kementerian BUMN, sebanyak 161 perusahaan, terbagi dalam berbagai kelompok, kelompok barang laku dijual seperti pupuk, semen dll, kelompok perusahaan strategis, seperti; PT PAL, PT PINDAD, PT DI dll, kelompok yang mengelola infrastruktur, seperti ; PT TELKOM, PT PLN, PT Angkasa Pura, dll, kelompok perusahaan jasa, seperti ; Bank, Retail, isntitusi moneter, dll. Dengan jumlah yang besar dan sektor yang sangat strategis, BUMN idealnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, kenyataannya saat ini BUMN mengalami inefisiensi yang parah, birokrasi yang panjang dan produktivitas karyawan menurun akibat kesejahteraan karyawan rendah.

Dengan demikian, kementerian BUMN yang baru dengan agenda membuka BUMN menjadi perusahaan publik adalah kebijakan yang kurang tepat, seharusnya Menteri Sofyan Djalil melakukan restrukturisasi BUMN yang kinerjanya kurang sehat, restrukturisasi ini pada dasarnya merupakan langkah antisipatif untuk menggerakkan BUMN menjadi sektor usaha negara yang baik dan sehat. Selain itu pemerintah seharusnya membuat kebijakan untuk mensejahterakan karyawan agar produktivitas mereka meningkat.

Dalam melakukan restrukturisasi BUMN, pemerintah perlu memperhatikan grand design pencapaian ekonomi selama periode kepemimpinan, dengan demikian strategi pencapaiannya akan terintegrasi secara sistematis. Secara garis besar proses restrukturisasi meliputi tiga (3) hal yaitu, pertama, restrukturisasi usaha, kedua, restrukturisasi manajemen dan organisasi, ketiga, restrukturisasi keuangan.

Restrukturisasi usaha merupakan suatu aktivitas menata ulang mata rantai kegiatan usaha dengan tujuan meningkatkan daya saing dan keuntungan perusahaan, juga untuk memperoleh rencana usaha yang ebih realistis. Sedangkan restrukturisasi dalam bidang manajemen meliputi reposisi dan reorganisasi perusahaan agar lebih mudah dalam birokrasi dan lebih efektif dalam menjalankan usaha. Yang lebih penting juga mengenai restrukturisasi bidang keuangan, dengan cara mengaudit pembelanjaan dan rekapitalisasi.

Dengan cara ini, BUMN yang kurang sehat bisa beranjak menjadi BUMN yang dinamis dan kinerjanya menunjukkan kemajuan. Maka jawaban dari judul artikel ini adalah privatisasi bukan satu-satunya jalan meningkatkan keuntungan, masih ada jalan lain yang lebih humanis dan menjaga stabilitas bangsa.

May 25, 2007

Analisa Makro Ekonomi 2007 dan 2008

Tulisan ini akan membahas review perekonomian Indonesia pada tahun 2007. Pembahasan selanjutnya mencoba meneropong prospek perekonomian pada tahun 2008 yaang banyak mengalami hambatan dari faktor eksternal.

Perekonomian 2007
Perekonomian tahun 2007 merupakan kondisi perekonomian terbaik pada pemeritahan kali ini, karena tahun sebelumnya (tahun 2006) dan tahun 2008 mendatang perekonomian Indonesia dilanda inflasi dan suku bunga tinggi, merosotnya perekonomian dalam negeri pada tahun 2006 disebabkan oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan kebijakan moneter yang hanya menyentuh sektor tertentu. Sedangkan pada tahun 2008 dunia digoncang oleh resesi AS dan melambatnya perekonomian dunia.

Kondisi ini telah berakibat buruk terhadap perekonomian dalam negeri, akibat dari kenaikkan minyak metah dunia, seluruh sektor ekonomi terutama industri mengalami high cost operasional, daya beli masyarakat menjadi menurun karena kenaikan itu tidak dibarengi dengan kenaikan upah yang layak, di sektor manufaktur biaya produksi meningkat tajam sehingga menimbulkan kenaikan barang-barang dan pengurangan tenaga kerja.

Kondisi ini menyebabkan meningkatnya angka inflasi, pada akhir tahun 2007 diatas 6,5 %, secara otomatis pengangguran dan kemiskinan bertambah, walaupun beberapa sumber menyebutkan kenaikan itu tidak berarti dibanding dengan meningkatnya sektor tambang dan ekspor non migas. Namun kondisi ini ternyata tidak berpengaruh terhadap PMA dan PMDN.

Pada Tahun 2007, daya beli masyarakat berangsur mulai membaik, pemerintah juga melalui Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan menurunkan suku bunga dengan asumsi dapat menstimulus kalangan usaha untuk kembali menggairahkan sektor-sektor strategis, kebijakan ini direspon positif oleh kalangan usaha yang terkait langsung dengan suku bunga. Selain itu dalam paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, mulai menunjukkan kemajuan. Namun dari segi investasi masih jauh dari optimal, hal ini disebabkan oleh peraturan investasi masih belum ada kejelasan.

Melihat perkembangan itu, peluang bisnis diberbagai sektor akan kembali menggeliat, terutama di bidang telekomunikasi nirkabel, bisnis ini diprediksi bakal meningkat tajam karena permintaan konsumen terus mengalami peningkatan sesuai kebutuhan komunikasi dan informasi. Di bidang kontruksi dengan turunnya suku bunga maka pembangunan perumahan, properti, apartemen yang dulu terganggu akan kembali bangkit, begitu juga dengan sektor perdagangan meningkatnya daya beli masyarakat akan meningkatkan sektor ini, tentu saja sektor keuangan juga akan mengalami peningkatan signifikan.

Awal tahun 2007, kalangan usaha mulai menanti kebijakan pemerintah yang berpihak pada pelaku ekonomi, terutama menyangkut kemudahan dalam melakukan transaksi bisnis dan investasi diberbagai sektor. Hasilnya pemerintah telah menyiapkan beberapa kebijakan agar pertumbuhan ekonomi dapat mencapai target diatas 6 % pada tahun 2007.

Kebijakan itu diantaranya menyangkut kebijakan moneter, pemerintah telah menurunkan suku bunga di BI agar pelaku bisnis bisa leluasa melakukan usahanya. Selain itu pemerintah dengan DPR berusaha menyelesaikan UU Penanaman Modal Asing (PMA) dimana didalamnya menyangkut kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), serta paket UU Investasi yang terdiri dari revisi UU Perpajakan, revisi UU Ketenagakerjaan, RUU Investasi.

Semua kebijakan yang sedang dan telah diputuskan oleh Pemerintah pada tahun 2007, belum menunjukkan perubahan optimal terhadap perekonomian nasional. Nilai inflasi tetap tinggi sebesar 6,29 persen, perkembangan investasi belum terlihat berubah dan gagasan KEK masih berputar diwilayah kepentingan politik.

Namun karena konsumsi masyarakat meningkat dan didukung oleh daya beli tinggi, pertumbuhan ekonomi tetap berkembang, hal ini ditandai dengan mulai maraknya sektor perdagangan ritel diberbagai pelosok daerah di Indonesia. Selain itu menjamurnya bisnis telekomunikasi dengan produk beraneka ragam telah menggerakkan sektor lainnya terutama menyangkut infrastruktur. Bidang konstruksi tetap berkembang, pembangunan perumahan, apartemen, hotel dan properti lainnya diuntungkan oleh menurunnya suku bunga atau BI rate. Sektor Perbankan tentu saja membaik dengan dikuti oleh pertumbuhan sektor kredit konsumsi dalam bentuk modal kerja.

Tingginya permintaan (demand) masyarakat pada tahun 2007 harus diimbangi dengan penawaran (supply). Bidang manufaktur diharapkan mampu merespon gejala ini dengan meningkatkan produksinya. Namun beban berat biaya produksi mengharuskan adanya pengurangan tenaga kerja agar kondisi perusahaan bisa tetap stabil.

Akibatnya, pengangguran di tahun 2007 meningkat, peran pemerintah dalam mengendalikan sektor manufaktur sangat dinantikan para pelaku di bidang ini. Dalam hal ini BI dapat menilai momentum ekonomi untuk menurunkan atau menaikkan suku bunga, selain itu yang paling penting juga pemerintah bisa mengajak sektor investasi untuk menambah geliat ekonomi dalam negeri.

Namun yang perlu menjadi perhatian, pengendalian suku bunga atau BI rate harus mendorong sektor perbankan menurunkan suku bunga kredit konsumsi masyarakat, karena dengan begitu sektor riil akan bergerak perlahan. Kemajuan sektor riil ini akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dalam kerangka makro ekonomi memang tidak ada batasan untuk menilai apakah kemajuan itu disebabkan oleh sektor riil atau sektor moneter, karena yang terpenting pertumbuhan ekonomi meningkat, asumsi ini masih mengundang perdebatan. Karena ada kecenderungan merugikan salahsatu pihak dan dianggap pertumbuhan ekonomi yang terjadi adalah pertumbuhan yang nisbi.

Sebaiknya ada keseimbangan dalam melihat kemajuan ekonomi, karena pelaku ekonomi tidak hanya kelas usaha besar atau sektoral tetapi ada juga usaha kecil dan menengah (UKM). Untuk mendorong keseimbangan itu perlu digerakkan sektor riil agar pertumbuhan ekonomi bisa dirasakan semua masyarakat.

Peran pemerintah dan perbankan dalam mengelola dan menyalurkan kredit kepada UKM di tahun 2007 cukup tinggi, hal ini didukung oleh kinerja UKM yang baik dan resiko penyaluran kredit tidak tinggi. Pemerintah juga melalui Menteri UKM telah membuat kebijakan untuk memberdayakan pelaku ekonomi UKM dengan membuat paket kredit berkala, peluang ini harus diambil oleh pihak yang bergerak disektor riil.
Perekonomian Indonesia tahun 2007 memang stabil, tahun 2007 triwulan akhir. BI menurunkan suku bunga sebesar 25 point menjadi 8,75 persen kebijakan ini sudah tepat karena momentum ekonomi memang ada, nilai tukar rupiah juga terus menguat didukung oleh Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang sehat dan kinerja ekpor yang membaik. Namun pada triwulan II ini tingkat inflasi tetap tinggi pada bulai Mei tahun 2007 sebesar 6,29 persen walaupun ada penurunan pada bulan april 6,59 persen.


Buruknya iklim investasi
Meningkatnya sektor usaha infrastruktur dan lainnya ternyata tidak diikuti dengan peningkatan investasi. Apabila kondisi ini berlanjut sampai akhir 2007, maka pertumbuhan ekonomi tahun 2008 bisa anjlok dibawah 5 %, sektor investasi ini tidak berkembang karena resiko tinggi dan kesempatan yang didapat terbatas.

Pemerintah belum bisa melakukan restrukturisasi dalam bidang investasi, terutama menyangkut birokrasi yang panjang dan kepastian hukum. Sehingga Perbankan sebagai sumber dan mitra PMDN menganggap resikonya terlalu ringgi jika mengeluarkan dana untuk kredit investasi, Perbankan lebih tertarik dengan kredit konsumsi. Begitu juga dengan PMA, belum jelasnya UU PMA yang digodok DPR membuat para investor asing memutuskan untuk beralih menyimpan dananya di Negara lain yang lebih mudah dan aman dalam ber-investasi.

Beberapa proyek pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas pemerintah pada tahun 2007 terkesan ambisius, karena pembangunan ini tidak realistis dan cenderung terbatas pada perusahaan tertentu, misalnya saja, pembangunan infrastruktur pembangkit listrilk 10.000 MW tidak didukung oleh administratif dan teknis yang baik. Pembangunan jalan tol juga masih belum berjalan, padahal pemerintah telah menyiapkan dana sebesar 600 Milyar untuk pembebasan tanah. Pemerintah daerah juga lebih senang menyimpan dananya di SBI daripada dialokasikan untuk memenuhi menggerakkan sektor riil di daerah.

Melihat kondisi ini, proyeksi ekonomi tahun 2007 masih dikatakan paradoks, disatu sisi ada kemajuan namun hanya sebatas sektoral, itupun tidak mempengaruhi kondisi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu untuk keluar dari dilema ini, pemerintah harus segera menyelesaikan masalah peraturan dan perundang-undangan secepat mungkin.


Meningkatnya Bisnis Properti
Perkembangan makroekonomi pada tahun 2007 diproyeksikan akan berdampak positif bagi kemajuan sektor properti, penurunan suku bunga telah membuat masyarakat yang menyimpan dananya di deposito atau obligasi kembali mengeluarkan dananya untuk diinvestasikan di bidang properti.

Prospek bisnis properti ini akan terus membaik, namun persainganpun disektor ini cukup sengit, sektor properti diyakini mampu menarik investor karena nilai return yang berlipat dalam jangka panjang, walaupun tidak sedikit yang lebih tertarik pada sektor lain yang menguntungkan dalam jangka pendek., kemajuan sektor properti semisal apartemen disebabkan juga oleh trend masyarakat perkotaan yang lebih menginginkan sarana hunian yang serba praktis dan mempunyai letak yang strategis atau di area cenral business district.

Produk properti apartemen di tahun 2007 diproyeksikan akan mengalami peningakatan, hal ini terlihat dari tingkat hunian setiap apartemen di Jakarta yang bertambah, padahal tingkat kenaikan harga juga berubah, kondisi ini dipacu oleh mobilitas masyarakat perkotaan yang semakin cepat dan kebutuhan tempat tinggal yang tidak jauh dari lokasi bisnis.

Bagi dunia usaha yang bergerak dibidang properti, peluang untuk investasi di pembangunan perumahan sangat prospektif ditahun 2007, daya beli masyarakat yang membaik dan kebutuhan akan perumahan cukup tinggi bisa dimanfaatkan oleh para pemain di sketor perumahan, pemerintah juga telah banyak memberikan kemudahan bagi pelaku ekonomi di bidang ini dengan mendorong Perbankan membantu memberikan kredit pinjaman untuk membangun perumahan yang bisa di akses oleh masyarakat menengah kebawah.

Kemajuan sektor properti ini diharapkan mampu menyediakan lapangan kerja baru bagi pengangguran yang tergolong memiliki skill dan pekerja kasar di sektor bangunan. Walaupun jumlahnya tidak besar, kemajuan ini akan tetap memiliki implikasi bagi tumbuhnya perekonomian disekitar kawasan. Maka disarankan pembagunan properti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi disekitar kawasan, konsep pembangunan ini sudah banyak dipakai di beberapa Negara, dengan demikian pembangunan properti dapat memiliki nilai tambah.

Perekonomian 2008
Untuk menopang perekonomian 2008 pembangunan infrastruktur dan sektor informasi/ telekomunikasi terus digerakkan oleh pemerintah. Pilihan ini cukup realistis karena berdimensi jangka panjang sehingga akan berimplikasi pada pertumbuhan sektor riil. Namun dengan kondisi perekonomian pada tahun 2008 yang mengalami perlambatan akibat krisis subprime mortgage di AS yang merambah pada krisis ekonomi dunia. Pembangunan infratruktur dan sektor telekomunikasi akan sedikit melambat. Walalupun tidak akan berpengaruh cukup drastis, mengingat kedua sektor ini menjadi prioritas pemerintah, agar fudnamental ekonomi bisa terbangun.

Kondisi ekonomi Indonesia selama triwulan I/2008 menghadapi goncangan hebat dari fekator eksternal ekonomi. Hal ini ditandai dengan mulai naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Inflasi pada triwulan I/2008 tercatat 3,2% (qtq) dan 7,9% (yoy). Posisi ini lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV/2007 dan sempat direspons negatif pada awal bulan pada triwulan II/2008.

Kenaikan angka inflasi yang biasa memasuki batas rata-rata normal yaitu 9% didorong oleh kenaikan harga minyak mentah dan pangan dunia yang tinggi (food& energy inflation). Berdasarkan kelompok barang dan jasa, inflasi tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan (beras, tempe, tahu, minyak goreng), sandang (emas), dan makanan jadi. Hal ini akan menggangu pertumbuhan sektor penawaran terutama di bidang manufaktur, permintaan masyarakat (demand) yang tinggi sulit untuk dipenuhi oleh sektor manufaktur, karena biaya produksi cukup tinggi. Peluang dan ancaman untuk memenuhi permintaan ini harus direspon dunia usaha agar bisa meraih keuntungan maksimal.

Kedepan dengan adanya respon yang proaktif dari pemerintah untuk melihat perkembangan ekonomi dunia. Maka kebijakan yang strategis mengenai stabilisasi harga melalui badan pemerintah perlu segera dilakukan (Bulog, red). Apabila produk lain tidak memiliki pengelolaan sentralisasi. Maka solusinya adalah adanya program diversifikasi produk pangan, energi dan pengaturan regulasi untuk ekspor/import sesuai kapasitas daerah. Agar dimasa mendatang yang memasuki masa liburan sekolah dan hari raya, dapat diantisipasi dengan baik oleh pemerintah.

Ekspektasi inflasi yang sesuai dengan fakta dilapangan harus diikuti oleh kebijakan yang pro rakyat. Agar kondisi ekonomi dalam negeri yang sedang mengalami overhang tidak memicu masalah sosial. Karena hal ini akan sangat mempengaruhi jumlah penduduk miskin di Indonesia dan tingkat kriminalitas.

Dengan demikian untuk mencari solusi stabilitas ekonomi, maka pemerintah perlu membuat kebijakan yang strategis, tidak hanya sebatas kebijakan jangka pendek, seperti penurunan BI rate atau kebijakan moneter lainnya yang hanya bisa dirasakan dalam jangka pendek, tetapi pemerintah bisa mengoptimalkan kebijakan fiskal dan meningkatkan akselerasi penyelesaian perundang-undangan menyangkut kemudahan berinvestasi.

Selain itu dalam menyusun kebijakan startegis menyangkut stabilitas ekonomi, perlu diperhatikan dimensi pembangunan yang berkelanjutan agar bisa berdampak pada perbaikan kualitas hidup masyarakat dan perbaikan lingkungan. Inventarisir aset negara dan mengupayakan lahirnya UU Harta Kekayaan Negara (HKN).



Jakarta, April 2008