Jan 12, 2010

Membangun Kota Yang Adil

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Menjadi warga perkotaan memang menjadi keinginan tersendiri bagi kebanyakan orang. Sehingga tidak heran jika fenomena urban terjadi hampir diseluruh pelosok negeri. Kondisi ini sebetulnya sudah terjadi sejak jaman dahulu, ketika era industrialisasi di Inggris dicanangkan pergerakan warga dari desa-desa menuju pusat industri sudah terjadi. Banyak orang berharap dapat hidup layak di kota, padahal kondisinya tidak semuanya benar. Pandangan banyak orang tersebut telah menjadi salahsatu penyebab terjadinya obesitas perkotaan.

Betapa beratnya beban kota-kota besar di Indonesia, menurut data kependudukan tingkat urbanisasi penduduk setiap tahunnya meningkat hampir 54 %. Angka ini tentunya sangat tinggi, Jika tidak ada penanganan pengelolaan kota yang terpadu, kondisi perkotaan akan semakin kacau dan tidak terkedali, kota akan mengalami kehilangan fungsinya sebagai ruang berinteraksi masyarakat secara harmonis dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Semrawutnya tataruang kota-kota besar di Indonesia disebabkan oleh tidak adanya sinergi pengelolaan tataruang dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk. Walaupun tidak bisa disederhanakan, keterkaitan dua penyebab itu menjadi pokok perhatian dalam mengelola perkotaan.

Fenomena urban ini terjadi di seluruh dunia. Namun dalam penyikapannya di beberapa Negara penanganannya cukup baik. Lihat saja misalnya di Bogota Ibukota Colombia, walaupun masyarakat urban disana cukup banyak. Pengendalian sosial dan pengaturan sarana prasarana disana relatif lebih baik khususnya masalah transportasi. Berbeda halnya dengan di Indonesia. Kota-kota besar seperti; Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung dan lainnya semakin tidak tertata dengan rapih. Hal inilah yang mengkhawatirkan banyak kalangan, di masa mendatang kota-kota besar itu akan mengalami ‘obesitas’ yang berbahaya bagi kelangsungan sebuah kota.

Urban manager
Membangun kota yang harmonis perlu diawali oleh visi pemimpin kota sebagai urban manager yang paham mengenai kota yang dipimpinnya. Di Amerika Serikat seorang walikota biasanya memiliki tim khusus yang memberikan advice kepada pimpinan terkait urban management. Walikota tersebut bertindak sebagai urban manager yang paham mengenai kondisi kawasannya. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan selalu mengacu pada kapasitas kawasan tersebut.

Berbeda dengan di Indonesia, pemimpin daerah seringkali membangun kota tanpa pengetahuan yang memadai. Sehingga setiap kebijakannya mendahulukan pendapatan daerah atau PAD daripada memperhatikan keberlanjutan pembangunan.

Kalau kita cermati fenomena pembangunan di kota-kota besar seperti; pembangunan pusat perbelanjaan di perempatan jalan yang menyebabkan kemacetan tak terurai. Pengembangan kawasan perumahan terpadu yang berada diarea hijau sehingga kondisi air tanah terganggu dan daerah sekitarnya menjadi banjir, pengadaan trayek moda transportasi yang seringkali berlebihan sehingga menimbulkan kemacetan, serta permukiman yang sesak akibat tidak diatur sedemikian rupa. Merupakan problem yang hampir merata disemua daerah.

Realitas tersebut jika diurai lebih jauh muaranya adalah kebijakan pemerintah didaerah tersebut yang tidak memiliki visi sebagai urban manager. Sehingga kurang memikirkan dampak dikemudian hari. Selain itu faktor ekonomi yang dominan menjadi alasan untuk terus mengeksploitasi kota kepada pasar agar lebih bernilai materi. Implikasi secara sosial warga kota yang tidak siap bersaing harus siap berada dipinggiran kota.

Potret Jakarta sekarang ini bisa menjadi contoh, warga perkotaan yang siap bersaing, memiliki modal akan berada ditengah kota. Sedangkan warga yang sulit bersaing akan terpinggirkan dan berada dipinggiran kota.

Jikalau persaingan itu sehat, mungkin bisa saja dibiarkan oleh pemerintah. Namun seringkali persaingan di perkotaan tidak sehat, faktor kepemilikan modal yang dominan telah meminggirkan warga kota yang lainnya. Disinilah sebetulnya peran urban manager dalam mengatur kota yang memiliki keadilan bagi semua pihak.

Pembangunan di wilayah kota seperti halnya pembangunan kawasan terpadu (super block developement) yang sekarang ini marak di kota-kota besar dengan berbagai icon proyek, seperti di Jakarta; Kuningan City, Ciputra World, Kemang Village, CBD Pluit, dll. Seolah memberikan kesan bahwa kota adalah kawasan yang identik dengan kawasan elit. Bagi warga kota yang tidak memiliki kemampuan materi untuk menetap di kawasan tersebut, dianggap menjadi warga kota nomor dua. Selain karena terpinggirkan karena tempat tinggalnya tergerus proyek, warga kota yang tidak memiliki akses ini sulit bersaing dengan yang lainnya.

Jika dibiarkan oleh urban manager dalam hal ini pemerintah, maka dikemudian hari warga di kota-kota besar adalah warga yang memiliki kemampuan finansial besar, sedangkan warga lainnya akan terus terpimggirkan. Oleh karena itu penting sekali mengatur pola pembangunan agar terjadi harmonisasi yang memberikan keadilan bagi semua warga untuk hidup ditengah kota.

Untuk mengatur pola pembangunan kota yang berkeadilan tersebut memang tidak mudah, tetapi bisa dilakukan dengan cara yang bertahap, seperti; meminta setiap pemilik proyek diperkotaan khususnya kawasan superblok, agar memberikan ruang bagi masyarakat sekitar untuk bisa hidup secara bersama-sama.

Seringkali perkampungan warga disekitar proyek di batasi dinding yang tinggi, kemudian kalaupun diberi ruang kesan ekslusif begitu kentara. Seharusnya pemilik proyek memikirkan bagaimana melakukan harmonisasi perkampungan tersebut dengan desain atau tataruang proyeknya, sehingga saling mendukung dan bisa hidup berdampingan. Inilah konsep kota yang sebenarnya, memberikan keadilan bagi semua orang untuk hidup harmonis.


Terimakasih,
Jakarta, 12 Jan 2010

NB : mohon tanggapan dan masukan tulisan ini ke proilham@gmail.com

Jan 4, 2010

Agar Tidak Kebliger dengan Strata Tittle

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Konsumen hunian vertikal ketika akan membeli produk Rusunami atau Apartemen kebanyakan akan bertanya-tanya mengenai konsep strata title, karena tidak semua konsumen mengerti. Mengingat pembelian unit pada hunian vertikal berbeda status kepemilikannya dengan landed houses. Sehingga sebelum membeli produk hunian vertikal. Konsumen harus memahami mengenai status kepemilikannya pada hunian vertikal.

Pada hunian vertikal istilah hak milik dikenal dengan strata tittle. Perbedaannya dengan hak milik pada landed houses, pada hunian vertikal hak milik itu ada pada unit yang dibeli konsumen sesuai luasan bangunan yang tertera pada pembelian awal, tidak seluruh bangunan vertikal itu. Sedangkan untuk landed houses kepemilikan melingkupi seluruh bangunan dan tanah.

Namun demikian akan muncul masalah lagi, jika Developer yang membangun hunian vertikal tersebut, membangun diatas tanah bukan status hak milik (SHM). Melainkan Hak Guna Bangunan (HGB) yang jangka waktunya tertentu. Sehingga status kepemilikan unitnyapun disesuaikan dengan masa HGB induk tersebut. Inilah yang seringkali luput dari perhatian konsumen. Sehingga konsumen harus mengurus perpanjangan hak milik tersebut setelah masanya habis.

Sebetulnya perpanjangan status kepemilikan itu bukan masalah krusial, karena setiap produk properti pada masa tertentu memang harus diperpanjang status kepemilikannya. Misalnya saja penguasaan atas tanah, maksimal 60 tahun harus ada pembaharuan status kepemilikan. Apalagi jika berada diarea yang akan dikembangkan untuk fasilitas umum. Statusnya akan berubah cepat.

Begitu juga, jika ada produk properti yang dibangun ditanah HGB dengan masa waktu 30 tahun kemudian harus ada perpanjangan. Hal itu bukan masalah utama, karena bisa diperpanjang dengan proses yang sekarang ini sudah semakin baik. Namun memang kendalanya di masyarakat kita masih kuat asumsi mengenai hak milik lebih aman dibanding hak milik diatas HGB. Sehingga banyak hunian vertikal yang berada pada HGB penjualannya tidak sebagus yang berada diatas SHM.

Disinilah sebetulnya peran Developer untuk mensosialisasikan pada konsumen, bahwa status kepemilikan hunian vertikal yang tidak berada di atas SHM tidak akan menjadi masalah dikemudian hari. Karena hal ini didukung oleh peraturan yang ada.
Strategi pemasaranpun perlu dikelola dengan baik. Karena menjual unit pada hunian vertikal yang berada pada status tanah HGB, biasanya mengalami banyak masalah. Dari mulai isu miring seputar ketidak-jelasan status tanah, hingga kepemilikan yang tidak aman jika membeli produk properti tersebut.

Di Jakarta sekarang ini banyak hunian vertikal seperti; Rusunami yang dibangun diatas tanah HGB. Rata-rata konsumen belum memahami mengenai konsekuensi dari status itu. Walalupun unit terjualnya cukup tinggi, dikhawatirkan Developer tidak mempedulikan status kepemilikan tersebut. Sehingga banyak konsumen yang kebingungan.

Seharusnya Developer juga bisa membantu konsumen dengan menjelaskan mengenai sistematika status kepemilikan tersebut. Selain perlu juga ada usaha dari Developer untuk meningkatkan status kepemilikan tersebut menjadi hak milik penuh.

Konsep strata tittle ini memang menimbulkan banyak interpretasi. Karena aturan hukumnya belum komprehensif. Beberapa peraturan tentang rumah susun tersebut termaktub dalam UU No.16 /1985 tentang Rumah Susun dan PP No. 4/1988. Dalam peraturan tersebut ketentuan rumah susun berlaku juga bagi Apartemen dan perkantoran.

Melihat aturan yang ada dari mulai definisi dan lingkup aturan tersebut. Masih perlu ada perbaikan yang lebih komprehensif. Kepemilikan yang berada pada aturan tersebut subtansinya perseorangan, dan hunian vertikal bisa diartikan perkatoran, rumah susun dan gedung lainnya. Sehingga dari penyeragaman itu, dalam implementasinya menuai banyak masalah. Perkantoran tidak bisa disamakan dengan rumah susun, begitu juga gedung berbeda dengan rumah susun karena pengelolaannya memang berbeda.

Untuk menghidari hilangnya hak terhadap unit yang dibeli konsumen atas unit hunian vertikal second, maka secepatnya konsumen harus merubah nama kepemilikan. Sehingga kewenangan pembeli tidak diabaikan dalam proses penentuan kebijakan pada saat penentuan kewajiban penghuni atau pengelola gedung.

Status kepemilikan strata tittle pada hunian vertikal, selama proses pembelian dari akad yang terjadi semuanya dilaksanakan dengan aturan yang ada didukung oleh notaris properti yang paham. Proses akad jual beli produk properti tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Walaupun di Indonesia produk aturan untuk hunian vertikal masih perlu penyempurnaan. Bagi anda yang berniat investasi atau end user hunian vertikal, status strata tittle merupakan status kepemilikan yang aman dan bernilai investasi di masa-masa mendatang.

Terimakasih.

Mohon tanggapannya atas tulisan ini ke: proilham@gmail.com

* Tulisan ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia edisi 02 Januari 2010