May 7, 2010

PP Tanah Terlantar Dan Bisnis Perumahan

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Sejak ditebitkan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 11/ 2010-tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar-menuai protes dari berbagai kalangan, terutama mereka yang memiliki kaitan dengan keperluan lahan dalam jumlah besar.

Kelompok tersebut umumnya bergerak di sektor perkebunan, kehutanan dan pertanian, Selain itu, mereka yang punya kepentingan dengan pertanahan di perkotaan untuk mendirikan proyek perumahan/permukiman.

Sebenarnya ada pihak yang diuntungkan dengan terbitnya PP Tanah Telantar. Hal itu dimungkinkan karena bagi masyarakat yang tidak memiliki akses pertanahan akan mendapatkan tanah sesuai peruntukannya.

Kebijakan mirip land reform ini memang memiliki dua implikasi yang muncul. Di satu sisi, ada manfaat untuk kalangan masyarakat bawah. Namun di sisi lain, kebijakan ini akan mengganggu dinamika bisnis sektor tertentu.

Pelaksanaan kebijakan ini harusnya diatur sedemikian rupa agar tidak memunculkan polemik. Jika ditelisik dari segi content regulasi, PP Tanah Telantar masih belum dilengkapi dengan petunjuk teknis penertiban lahan.

Redaksional yang tersirat dalam peraturan ini juga banyak bertabrakan. Misalnya dalam PP Tanah Telantar disebutkan perlu ada penelitian atau identifikasi untuk menentukan lahan itu telantar atau tidak.

Juga dalam kaitannya dengan waktu penggunaan. Jika lebih dari 3 tahun tidak digarap, maka akan ditertibkan oleh pihak berwenang. Adapun, aturan lainnya menyebutkan perlu ada pendaftaran ulang dalam 5 tahun terakhir.

Terlepas dari masalah itu, semangat yang ada dalam regulasi ini memang patut di apresiasi. Hanya saja pemerintah perlu melihat kondisi lapangan. Terutama untuk menjaga iklim bisnis yang menyangkut kepercayaan investor.

Perumahan stagnan

Untuk sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan mungkin akan bisa diterapkan PP Tanah Telantar ini. Namun untuk sektor bisnis-khususnya sektor perumahan dan permukiman yang membutuhkan lahan cukup besar-peraturan tersebut sangat tidak membantu. Oleh karenanya, akan menyebabkan bisnis properti menjadi stagnan.

Pengawasan pemerintah sebaiknya hanya pada upaya mendorong peningkatan ekonomi sekitar lahan yang digarap, sehingga pihak swasta menjadi tertantang untuk mewujudkan pengembangan proyek mereka.

Sebagai contoh, dalam pengembangan perumahan rencana pengembangan kota mandiri tentu membutuhkan lahan di atas 50 ha. Jika lahan tersebut digarap secara langsung, maka akan membutuhkan biaya besar.

Pertimbangan tadi membuat banyak pengembang mem�bangun proyek secara bertahap, tetapi tetap dalam kerangka pengembangan yang direncanakan. Dari segi waktu, pembangunan kawasan tadi mungkin mamakan waktu minimal 10 tahun.

Jika dalam PP Tanah Telantar aturannya adalah maksimal 3 tahun-setelah keluarnya hak perizinan-maka tanah yang akan dikembangkan tersebut akan sulit untuk dibangun karena biayanya akan sangat besar.

Lain hal, jika ada lahan milik pengembang yang sengaja ditelantarkan atau sengaja ditimbun untuk menjaga nilai tanah hingga tinggi. Maka untuk kasus ini, mereka harus mendapatkan sanksi dan penertiban.

Pada dasarnya spirit pemerintah menerbitkan PP Tanah Telantar sudah tepat yaitu untuk membagi secara merata kesempatan kepada masyarakat yang belum memiliki akses pertanahan.

Namun sekali lagi, perlu ada pengaturan yang rigid dan pengecualian untuk hal-hal yang menyangkut perumahan dan permukiman, khususnya yang mendorong perekonomian kawasan.

Memang sulit mengatur tanah telantar, Mengingat hampir 11 juta hektare tanah telantar di seluruh Indonesia tidak bisa diidentifikasi dan dilakukan manajemen aset secara baik.

Lahan tersebut tersebar di seluruh pelosok Nusantara notabenenya adalah lahan untuk perkebunan, kehutanan dan pertanian.

Khusus untuk lahan telantar sektor perumahan-terutama yang berada di kota-kota besar-penertiban harus memiliki petunjuk teknis yang tepat. Sebab tanah-tanah yang akan dikembangkan-sebagai bagian dari rencana besar proyek kota mandiri-bisa menjadi terhambat karena aturan ini.

Cara mengaturnya adalah dengan mengevaluasi rencana proyek dari site plan yang sudah ada, agar rencana tersebut benar-benar akan dilaksanakan. Apa lagi, pengembangan kawasan akan memiliki efek domino terhadap perekonomian sekitar.

Pengawasan memang tetap perlu dilakukan oleh pemerintah menyangkut keseriusan pengembangan kawasan. Jika perlu, ada dateline waktu yang menegaskan bahwa untuk pengembangan kawasan mandiri diberi tenggat 10 tahun -15 tahun. Jika tidak terealisasi, maka lahan tersebut akan diambil oleh pemerintah tanpa ada kompensasi.

Selain pengembangan kawasan, yang perlu diperhatikan adalah lahan-lahan terlantar di kota-kota besar. Penggarapannya harus menyisihkan space untuk kepentingan publik dan ruang terbuka hijau (RTH) yang mencukupi.

Hal ini penting untuk mendorong lahirnya kawasan baru yang sehat dan produktif, sekaligus untuk melahirkan proses sosial yang lebih baik.

Penertiban tanah telantar memang dapat meningkatkan pendapatan negara. Namun jika tanah telantar tidak dioptimalkan untuk meningkatkan kualitas nilai kawasan, maka akan sulit mendapatkan hasil yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, prinsip pembangunan berkelanjutan dan aset manajemen yang tertata rapi menjadi opsi yang tidak bisa ditolak lagi.

Terimakasih,
Jakarta, 5 Mei 2010

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia edisi 23 April 2010
mohon masukan, kritik dan saran.