Feb 24, 2009

Formulasi Atasi Masalah Perumahan di Era Otonomi Daerah

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Permasalahan pembangunan perumahan dan permukiman tidak bisa dilihat dari satu perspektif saja, melainkan perlu dilihat secara holistik. Karena penyelenggaraan bidang perumahan dan permukiman akan berimplikasi kepelbagai aspek kehidupan diantaranya; aspek politik, aspek ekonomi, aspek sosial-budaya dan aspek lingkungan.

Aspek politik terkait political will terhadap kebijakan perumahan baik dari segi kelembagaan maupun dari segi subsidi bidang perumahan dan permukiman yang berpihak kepada seluruh masyarakat. Aspek ekonomi menyangkut nilai bisnis pembangunan perumahan yang cukup tinggi. Aspek sosial-budaya terkait dengan proses interaksi masyarakat di dalam suatu kawasan perumahan dan permukiman yang perlu pembinaan. Aspek lingkungan menyangkut keseimbangan alam akibat pembangunan perumahan dan pengembangan permukiman yang tidak memperhatikan norma lingkungan sehingga menyebabkan bencana banjir dan krisis air tanah.

Fenomena krisis perumahan dan permukiman bertambah kompleks dengan meningkatnya jumlah penduduk. Karena sejak era reformasi tidak digalakkan lagi program Keluarga Berencana (KB). Sehingga terjadi pertambahan penduduk yang tidak terkendali. Akibatnya kebutuhan perumahan dan permukiman semakin tinggi, yang sulit diimbangi dengan tersedianya perumahan yang layak dan memadai.

Namun pemerintah telah berupaya sejak tahun 1970 untuk memperhatikan bidang perumahan dan permukiman. Dengan adanya Kementerian Negara yang fokus membidangi masalah perumahan rakyat (Kemenpera). Kementerian ini memiliki fungsi yaitu; untuk merumuskan kebijakan nasional di bidang perumahan rakyat, sebagai kordinator pelaksanaan kebijakan perumahan rakyat, pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kemenpera, pelaksanaan operasionalisasi kebijakan penyediaan rumah dan pengembangan lingkungan perumahan, melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Kemenpera dan terakhir menyampaikan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan bidang perumahan rakyat kepada Presiden.

Keberadaan Kemenpera disatu sisi sangat dibutuhkan, tetapi disisi lain fungsinya sangat terbatas. Terutama menyangkut kewenangan dalam mengatur secara komprehensif manajemen penyelenggaraan perumahan dan permukiman secara nasional. Keterbatasan tata pemerintahan di setiap tingkat berdampak pada lemahnya implementasi kebijakan yang telah ditetapkan. Setiap kebijakan Kemenpera di Daerah sulit sekali dipantau dengan baik. Hal ini dikarenakan Kemenpera tidak memiliki struktur organisasi di Daerah. Daerah sendiri seringkali menganggap kebijakan perumahan merupakan hak preogratif Daerah yang bisa dilaksanakan atau tidak. Disamping itu karena langkanya SDM yang memahami mengenai public housing dengan segala aspeknya.

Kebijakan pembangunan perumahan sejak reformasi mengalami perubahan yang signifikan, yaitu terkait dengan perubahan sistem ketata-negaraaan dari Sentralisasi menjadi Desentralisasi. Era Desentralisasi sebetulnya bisa menjadi momentum untuk membagi peran pembangunan perumahan kepada setiap Daerah. Dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Daerah memiliki wewenang dan kewajiban menyediakan perumahan rakyat mulai dari pembiayaan, pembinaan perumahan formal dan swadaya, pengembangan kawasan, pertanahan, pembinaan teknologi, hingga pengembangan pelaku pembangunan perumahan.

Permasalahan yang akan muncul dikemudian hari, terkait implementasi kebijakan ini adalah tidak adanya landasan hukum yang memperkuat struktur di Pusat untuk melakukan intervensi kebijakan. Sehingga pembangunan bidang perumahan dan permukiman hanya diserahkan ke Daerah saja tanpa ada pengawalan yang tersistem dari struktur Pemerintah Pusat.

Apabila penyelenggaraan perumahan dan permukiman tidak memiliki satu kesatuan sistem yang integratif. Maka pertanyaan yang akan muncul adalah bagaimana manajemen pembangunan dan perumahan di era Desentralisasi?. Bagaimana transformasi model pembangunan perumahan dan permukiman tersebut?. Disaat semua daerah sudah memiliki otonomi dalam mengelola anggarannya.

Kalaupun Daerah dipaksa dengan PP 38 Tahun 2007 agar ikut serta menyediakan perumahan. Masalah tidak bisa selesai sampai disitu, karena Daerah akan kesulitan mencari sumber dana yang potensial untuk membantu pengembangan perumahan. Selain itu Daerah juga akan kebingungan jika arahan dari pusat tidak memiliki petunjuk teknis yang sudah integratif menyangkut besaran subsidi model pembangunan dan partisipasi masyarakat yang ideal untuk membantu suksesnya program pembangunan perumahan di daerah.

Untuk itu menjelang Pemilu 2009 mendatang, masalah-masalah ini akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak terselesaikan oleh Kementerian Perumahan Rakyat era Kabinet SBY-JK. Sebagai bahan masukan tulisan ini akan menyampaikan formulasi yang ampuh untuk menyelesaikan setiap persoalan pengembangan perumahan dan permukiman rakyat di era otonomi daerah. Tulisan-tulisan kedepan akan bersambung, mencoba mengupas masalah dan solusi perumahan di era otonomi daerah.

Terimakasih,


Jakarta, 24 Februari 2009


proilham@gmail.com