Aug 29, 2008

Land Banking Untuk Kepentingan Sosial

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Sulitnya lahan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan rusunami menjadi masalah utama keterlambatan pembangunan 1000 menara rusun. Harga tanah yang seringkali melonjak tidak terkendali dan luas lahan yang kurang mencukupi menjadi alasan mengapa para pengembang mengurungkan niatnya untuk membantu mengakselerasi program pemerintah ini.

Program 1000 menara rusun bukan pertama kali yang tersendat prosesnya karena masalah ketersediaan lahan. Program penyediaan perumahan rakyat pada era orde baru juga mengalami hal yang sama. Alasannya tanah dimiliki segelintir orang dan banyak spekulan yang memainkan harga.

Sejatinya masalah ketersediaan lahan ini tidak akan terjadi. Apabila pemerintah mempunyai sistem perencanaan tata ruang dan manajemen lahan yang lebih terencana. Sehingga setiap program-program pembangunan dapat terealisasi tanpa harus merugikan pihak lain seperti harus dengan melakukan penggusuran secara paksa atau dengan menggunakan perubahan peruntukkan secara mendadak.

Ketersediaan lahan ini penting karena pembangunan akan terus bergerak dinamis. Tanpa adanya land banking pemerintah akan kesulitan memperoleh tanah dengan harga yang wajar untuk berbagai keperluan pembangunan.

Mengenai land banking sendiri bisa diklasifikasikan menjadi dua yaitu ; land banking sebagai sebuah lembaga, dan land banking sebagai mekanisme mengumpulkan lahan yang tidak dimanfaatkan oleh semua pihak baik pemerintah/ BUMN atau swasta.

Perbedaan mendasar dari dua konsep land banking itu adalah terkait dengan pelaksanaan mekanisme land banking yang dilakukan secara komprehensif atau hanya sebatas sektoral. Apabila mekanisme land banking dilembagakan. Maka konsepnya akan mengarah kepada manajemen aset negara secara komprehensif yang mensyaratkan adanya beberapa aktivitas diantaranya; melakukan inventarisir aset/lahan, mendokumentasikan dalam sistem informasi pertanahan, melakukan manajerisasi pertanahan dan terakhir melakukan distribusi yang merata sesuai kebutuhan pembangunan untuk kepentingan sosial dan komersial.

Dari segi kelembagaan implementasi land banking akan banyak menghadapi tantangan karena pihak-pihak yang menguasai tanah akan terusik. Ketika pemerintah melakukan inventarisir aset, bisa jadi banyak lahan yang dikuasai segelintir orang. Biasanya pihak –pihak yang memiliki tanah adalah kalangan pejabat dan konglomerat atas yang sulit dijangkau oleh hukum. Dengan segala cara mereka akan menentang implementasi land banking. Untuk menangani masalah ini jelas pemerintah perlu tegas menindak siapapun yang menguasai aset negara tanpa ijin.

Selain itu, untuk menjadikan mekanisme land banking sebagai sebuah lembaga.
Pemerintah harus menyiapkan stock capital yang cukup besar. Karena pemerintah akan membeli tanah yang dikuasai oleh perorangan atau perusahaan untuk dijadikan land banking.

Namun bukan tidak mungkin lembaga bank tanah bisa dibentuk oleh pemerintah. Karena lembaga ini merupakan salah satu solusi untuk menyelamatkan aset negara berupa tanah. Mengenai stock capital yang terbatas, pemerintah bisa melakukan ineventarisir aset yang tersebar di beberapa pihak diantaranya ; aset tanah eks BPPN, aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN), aset Pemda, aset departemen, lembaga/non departemen, non lembaga pemerintah, aset milik swasta dan konglomerat yang berlebih dan aset lainnya yang dapat dikuasai land banking. Dalam pelaksanaannya pemerintah harus berani membuat peraturan untuk membentuk land banking agar lahan-lahan yang terlantar bisa diakuisisi untuk kepentingan umum.

Untuk saat ini mekanisme land banking secara sektoral lebih mungkin dilakukan dari pada dilakukan secara kelembagaan. Yang dimaksud sektoral adalah pelibatan BUMN yang memiliki lahan di berbagai daerah perkotaan bisa menjadi pemasok kebutuhan lahan untuk pembangunan rusunami. BUMN tersebut seperti; PT. Pertamina, PT. Bulog, PT. Telkom, PT. KA, PT. PLN dll.

Selama ini BUMN seringkali lebih tertarik melakukan kerjasama optimalisasi aset dengan dibangunkan produk property kelas atas yang lebih menguntungkan secara ekonomi. Pelibatan BUMN dalam program 1000 menara rusun ini, sebetulnya tidak akan merugikan BUMN bersangkutan. Apabila kerjasama bisnis ini diformulasikan sedemikian rupa, agar kedua belah pihak diuntungkan.

Mekanisme land banking di BUMN merupakan mekanisme penyediaan lahan jangka panjang terkait dengan pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam konteks ini juga memungkinkan pemerintah secara lebih mudah mengatur pola pembangunan wilayah bersangkutan agar lebih sejalan dengan sasaran perencanaan tata ruang secara keseluruhan.

Distribusi tanah yang adil dan kejelasan mengenai status lahan untuk kepentingan umum dalam land banking, juga dapat memudahkan kalangan investor untuk membantu pemerintah merealisasikan program-program pelayanan fasilitas publik. Kalangan investor akan merasa aman berinvestasi karena data aset berupa luas tanah, lokasi, maupun status hukumnya sudah jelas dilindungi land banking pemerintah.

Dengan adanya land banking, harga pasar tanah bisa dikontrol, spekulasi tanah bisa dicegah, dan pemerintah sendiri bisa mengambil sebagian keuntungan dari peningkatan nilai tanah sehingga pembangunan dengan mekanisme land banking bisa dioreintasikan untuk kepentingan sosial.

Jakarta, 29 Agustus 2008

Terimakasih,



Ilham M. Wijaya
proilham@gmail.com

Catatan: Bagi rekan yang ingin mengomentari silahkan via japri or langsung di kolom comment.

Aug 14, 2008

Menpera Korban Program 1000 Menara Rusun

Oleh : Ilham M. Wijaya, SE

Beberapa waktu lalu Wakil Presiden (Wapres) kembali menegur Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) karena dianggap lamban dalam menyelesaikan program pembangunan 1000 menara rusun. Teguran Wapres kepada Menpera memang bisa diartikan beragam, bisa dari segi politik ataupun bisnis. Terlepas dari itu semua, masalah ini perlu diungkap secara lengkap ke publik terkait kondisi penyediaan perumahan untuk rakyat khususnya dalam program pembangunan 1000 menara rusuna.

Ide program pembangunan 1000 menara rusuna di seluruh Indonesia berawal keinginan pemerintah menata ruang pemukiman kota-kota besar di Indonesia khususnya di Jakarta. Seiring semakin meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan tempat tinggal diperkotaan cukup tinggi. Pembangunan hunian vertikal ini adalah solusi yang realistis untuk mengatasi masalah pemukiman penduduk di perkotaan. Mengingat luas lahan di perkotaan sangat terbatas sedangkan jumlah penduduk terus bertambah.

Namun kebijakan program ini tidak lebih hanya sebatas ide, sedangkan dalam pelaksanaan jauh dari harapan. Mengapa demikian, karena dari program ini terlihat sekali, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak menyentuh subtansi masalah, sedangkan pihak yang bertanggungjawab sengaja dikorbankan untuk di jadikan ‘kambing hitam’ kegagalan program ini.

Kalau kita kaji dari beberapa produk hukum terkait program pembangunan rusuna, mulai dari Kepres Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2007 tentang Tim Kordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun Di Kawasan Perkotaan. Peraturan Menko Ekonomi tentang tim pelaksana, yang dikordinatori oleh Menpera. Peraturan Menteri Perumahan Umum tentang Pedoman teknis pembangunan rusuna, Peraturan Menteri Keuangan tentang penetapan harga maksimal dan ukuran serta pembebasan pajak jasa konstruksi. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat tentang subsidi selisih bungan KPR. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 71 Tahun 2007 tentang kordinasi daerah khususnya kota-kota padat untuk pembangunan Rusunami. Peraturan Gubernur Nomor 136 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Rusuna. Maka didapatkan bahwa semua kebijakan tersebut masih bias, tidak ada yang menjelaskan aturan teknis mengenai penyediaan tanah untuk rusuna. Ada kesan Presiden dan Menteri saling ‘lempar handuk’. Padahal peraturan yang dibutuhkan untuk mempercepat program rusuna itu adalah penerbitan peraturan yang langsung dari Presiden terkait kejelasan mengenai penyediaan tanah untuk pembangunan rusuna.

Mengapa hal ini penting, karena bagaimanapun program pembangunan rusuna oleh pemerintah akan terkait penyediaan tanah. Begitu juga para pengembang, akan sulit mendapatkan lahan yang bagus apabila pemerintah tidak mempunyai kebijakan dalam masalah ini. Selain itu legitimasi tim percepatan yang tidak diikuti dengan konsep tata laksana teknis akan sulit bergerak. Karena setiap departemen mempunyai otritas sendiri, yang tidak bisa dilewati tanpa kekuatan dari Peraturan Presiden.

Selain masalah penyediaan tanah untuk pembangunan rusuna, masalah yang tidak kalah penting adalah mengenai harga tanah untuk rusuna. Pengembang akan sulit mengembangkan rusuna di lokasi terbaik, karena harga tanah di Jakarta sangat tinggi. Sedangkan harga jual maksimal unit rusuna sudah ditentukan pemerintah sebesar Rp144 juta, maka pengembang maksimal mendapatkan tanah dengan harga Rp 1 juta per meter persegi agar profit margin-nya tetap rasional. Subsidi harga tanah sebetulnya dimungkinkan untuk mengatasi masalah ini. Tetapi perlu ada kejelasan mengenai mekanismenya.

Disisi lain pengembang dihadapkan pada cost untuk perpanjangan status tanah apabila itu milik pemerintah seperti; Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Di Jakarta misalnya, para pengembang sulit membangun produk properti karena biaya perpanjangan status tanah sangat tinggi. Apalagi ada masalah untuk lokasi tanah yang berstatus HPL, biasanya sulit diterima pasar karena image kepemilikannya terbatas.

Dari segi potensi pasar sebetulnya pembangunan rusuna di Jakarta disambut positif oleh masyarakat, berdasarkan survey yang dilakukan Property Research Institutes (PRI) terbukti dari beberapa proyek rusunami yang baru launching pada akhir tahun 2007 selama 3 bulan sudah memiliki rata-rata tingkat penjualan hingga 90 %. Seperti; di rusunami Menara Cawang di Cililitan, rusunami City Park di Cengkareng, rusunami Sunway di TMII dan rusunami Gading Nias di Kelapa Gading. Jadi prospek bisnis rusuna di Jakarta sangat menjanjikan.

Berbeda halnya dengan kondisi proyek rusuna di Kemayoran, dengan harga tanah yang tinggi sekitar Rp 4 juta per meter persegi. Maka tak heran kalau proyek rusuna di Kemayoran terlambat, karena tidak ada investor yang mau berinvestasi untuk rusuna ini. Selain proyeknya tidak menguntungkan, status tanah di Kemayoran juga masih berupa HPL. Kondisi ini sulit bagi pengembang untuk memasarkan produknya kepada konsumen. Walaupun sebetulnya sama saja, tetapi psikologis kepemilikan bagi konsumen tetap menjadi pertimbangan dalam membeli produk properti

Lain soal kalau pemerintah membebaskan biaya tanah. Sedangkan biaya bangunan diserahkan sepenuhnya kepada pengembang. Sudah bisa dipastikan para investor akan berbondong-bondong menyerbu kawasan Kemayoran untuk mengembangkan beragam produk properti. Karena di Kemayoran lahan yang baru dikembangkan baru di 90,8 hektar dari luas lahan keseluruhan mencapai 454 hektar.

Pembangunan rusuna akan terus terjadi di masa mendatang, karena kota-kota di Indonesia memang sudah membutuhkan hunian vertikal yang mampu menampung masyarakat dalam jumlah besar. Namun secara garis besar konsep integral program rusuna dalam implementasinya masih membutuhkan waktu panjang.

Sehingga masalah lambatnya pembangunan rusuna ini bukan masalah kinerja salah satu Menteri yang ‘kurang strategis’ tetapi karena political will pemerintah dalam hal ini Presiden untuk membuat kebijakan penyediaan hunian layak bagi masyarakat menengah-bawah memang tidak ada. Malah yang terjadi Menpera akan menjadi ’kambing hitam’ kegagalan program ini. Maju kena mundur kena.

Jakarta, 15 Agustus 2008

Terimakasih,



Ilham M. Wijaya
proilham@gmail.com