Nov 18, 2009

Menggilir kegelapan; Ketersediaan listrik hal yang pokok bagi semua jenis industri

Oleh: Ilham M. Wijaya

Belum lekang dari ingatan kita, tentang imbauan pemerintah tahun lalu untuk menghemat listrik di perkantoran dan pusat perbelanjaan. Pemerintah melakukan inspeksi mendadak (sidak) di beberapa perkantoran untuk memastikan penghematan listrik.
Waktu itu masalah pasokan batu bara sebagai bahan baku pembangkit listrik sedang mengalami gangguan, kontan saja Jakarta digilir kegelapan.

Hal serupa terjadi sekarang, namun berbeda dengan problem yang lalu. Pemadaman listrik yang mendera Jakarta dan sekitarnya akibat rusaknya instalasi gardu induk di daerah Cawang Jakarta Timur, selain itu PLTU di daerah Muara Karang Bekasi juga mengalami kerusakan.

Menyikapi kondisi ini, PLN sepertinya tidak mau pusing. Agar pasokan listrik bisa merata diterima warga dan industri, pasokannya digilir secara bergantian. Bagi kawasan industri dan perkantoran yang memiliki generator mungkin tidak terpengaruh dengan krisis listrik ini, walaupun akibatnya biaya operasional menjadi lebih besar, karena biaya bahan baku generator yaitu solar harganya cukup mahal juga, jika digunakan dalam waktu lama.

Problem listrik yang terulang lagi pada masa 100 hari kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Seharusnya hal itu menjadi pelajaran untuk merevitalisasi pengelolaan kelistrikan yang lebih profesional, walaupun isu listrik ini menjadi fokus kedua setelah program pemberantasan korupsi pada 100 hari Yudhoyono.

Namun, pemerintah terutama PLN tidak bisa sekadar merencanakan program 100 hari masalah kelistrikan tanpa tindakan yang nyata. PLN pun tidak bisa sembunyi di balik alasan anggaran pemeliharaan dan pengadaan kelistrikan yang membutuhkan Rp80 triliun per tahun.

PLN sebagai institusi yang notabene sudah mempunyai rencana strategis yang terdiri dari berbagai item prioritas baik pemeliharaan maupun pengadaan kelistrikan yang sudah memperhatikan aspek-aspek krusial yang perlu penanganan cepat.

Jika terjadi hal-hal di luar rencana, yang menyebabkan terganggunya ketersediaan listrik bagi warga dan industri, pemerintah dalam hal ini Menneg BUMN harus segera turun tangan mengatasi problem ini.

Selain pemerintah, seluruh pihak yang terkait termasuk masyarakat harus bahu-membahu menciptakan pasokan listrik yang cukup. Masyarakat juga tidak bisa seenaknya menggunakan listrik, tidak juga mencuri listrik negara, karena jelas merugikan PLN.

Masyarakat perlu diedukasi agar menggunakan listrik seperlunya. Begitu juga industri. Penggunaan listrik ini akan menjadi prioritas pertimbangan industri dalam menentukan produksi dan investasi. Jika ketersediaan listrik itu, terganggu sektor industri akan mengalami kerugian.

Masalah listrik ini memang sulit diatasi, karena pasokan dan kebutuhan energi listrik di Indonesia tidak sebanding. Sehingga sering kali beberapa daerah, sudah terbiasa dengan pemadaman listrik oleh PLN setempat.

Selain itu PLN sulit mencapai titik temu untuk membeli energi listrik dari pihak swasta. Untuk itu rencana mega proyek pembangunan pembangkit listrik 10.000 megawatt harus segera direalisasikan.

Jika pemerintah sulit membuat sistem perjanjian dengan pihak swasta, karena profit sharing, harga beli, dan insentif yang diminta pihak swasta belum menemukan titik tengah, pemerintah seharusnya bisa melakukan negoisasi lebih baik lagi, selain mencari jalan keluar pendanaan dari dalam negeri.

Kalaupun sulit dilakukan, pilihan terbaiknya adalah untuk jangka pendek harga beli dari pembangkit swasta harus ditegaskan karena ini menyangkut kepentingan publik. Adapun, menyangkut pembangkit listrik dari proyek PLN yang akan dibangun sebesar 10.000 Megawatt, pemerintah harus segera bertindak, tidak lagi mengkaji, agar proyek ini tidak tersendat. Jika ada peluang pendanaan dari bank dalam negeri, hal tersebut harus segera diambil langkah-langkah taktisnya.

Investasi

Ketersediaan listrik bagi industri merupakan hal yang pokok untuk semua jenis industri. Industri besar yang berada dalam kawasan industri akan terganggu produksinya jika pasokan listrik tidak diselesaikan pemerintah.

Pemerintah seharusnya mampu mendatangkan investor asing ataupun mengundang investor lokal untuk membangun industri. Namun, jika masalah pokok yaitu listrik tidak tersedia, jangan harap investor mau menanamkan dananya. Kalaupun ada berbagai kemudahan dari pemerintah kepada para calon investor tersebut, tetap akan sulit membuat investor mau masuk. Ibarat memberikan pancing ikan yang banyak tetapi tidak ada ikan di kolam, artinya semua akan sia-sia.

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah, dalam hal mengatasi krisis listrik ini. Pertama, dalam jangka pendek, perbaikan gardu listrik dan pembangkit listrik yang rusak perlu dipercepat penyelesaiannya. Jika perlu bantuan pihak asing atau tambahan biaya perbaikan, pemerintah perlu memprioritaskan perbaikan masalah listrik ini.

Kedua, dalam jangka menengah, krisis listrik ini akan terus berlanjut jika tidak ada diversifikasi energi pembangkit listrik. Pemerintah perlu menggandeng pihak swasta untuk investasi di bidang pembangkit listrik (power plant industry). Semakin banyak pembangkit listrik dibuat, maka ketersediaan pasokan listrik juga akan semakin banyak.

Pembangunan power plant ini juga perlu memperhatikan sumber-sumber listrik baru, tidak melulu mengandalkan batu bara. Sumber energi listrik yang lain seperti; angin, geothermal dan cold bed metan (CBM) bisa dikembangkan lebih baik lagi. Selagi pembangkit-pembangkit listrik yang mudah diberdayakan dari sumber energi alam di daerah-daerah yang potensial perlu terus ditingkatkan pasokannya.

Langkah ketiga, dalam jangka panjang, proyek 10.000 megawatt perlu dikelola dengan baik, sehingga nantinya antara investasi dan reward yang diberikan tidak merugikan semua pihak termasuk masyarakat yang sering terimbas dampak kenaikan TDL. Akibat dari ulah investor yang seenaknya memasang tarif, karena alasan biaya investasi yang tinggi.

Agar problem menggilir kegelapan ini tidak terulang lagi, PLN sebagai instansi pengelola kelistrikan negara ditunggu terobosannya dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dan industri. Tidak cukup memberikan kompensasi 10% untuk industri yang terkena pemadaman listrik ini karena efek domino dari problem listrik ini menyangkut banyak pihak.

Untuk itu, kita menunggu komitmen dan upaya keseriusan PLN dalam membenahi sektor kelistrikan ini, masyarakat sebetulnya hanya menginginkan ketersediaan listrik bisa stabil. Apapun yang dilakukan PLN dan otoritas kelistrikan di Indonesia, dalam mengelola sektor ini. Selama bermanfaat bagi masyarakat, sepertinya masyarakat tidak mau ambil pusing.

Terimakasih

Artikel ini dimuat diharian Bisnis Indonesia Rabu, 18 November 2009

Mohon masukan dan saran ; proilham@gmail.com

Nov 5, 2009

Merumahkan Korban Gempa

Oleh Ilham M. Wijaya, SE

Bisa dipastikan para korban gempa yang rumahnya rusak berat akan kesulitan mencari tempat tinggal yang layak, walaupun ada bantuan tenda darurat kondisinya akan serba terbatas. Agar kehidupan mereka bisa kembali produktif, saat ini menyiapkan rumah yang layak bagi mereka adalah kebutuhan penting penanganan pasca bencana.

Penyediaan rumah ini bisa diartikan dua hal yaitu; pertama, pemugaran rumah yang rusak dengan merenovasi agar tampak seperti semula atau membuat pondok sementara disamping rumah mereka yang rusak, serta perbaikan infrastruktur lingkungan sekitar. Kedua, penyediaan rumah baru yang dibangun dalam satu kawasan terpadu bagi korban gempa yang rumahnya sudah hancur total.

Dalam hal perbaikan rumah yang rusak ini memang sulit sekali direalisasikan oleh warga, mengingat biaya yang dikeluarkan akan besar dan prosesnyapun membutuhkan waktu lama. Selain itu bantuan yang diberikan untuk proses renovasi seringkali tidak cukup untuk membangun kembali rumah yang rusak. Biasanya kebanyakan warga lebih memilih merenovasi seadanya dan menggunakan uang bantuan tersebut untuk hal-hal lain.

Untuk itu proses rekonstruksi rumah warga korban gempa tersebut perlu dilakukan secara bertahap mulai dari penyediaan rumah sementara yang layak, pembangunan rumah baru hingga perbaikan infrastruktur dan rencana tataruang yang sesuai dengan kepentingan daerah. Semua itu perlu di kordinir oleh Pemerintah secara menyeluruh dan terpadu. Dalam proses pelaksanaannya perlu melibatkan warga secara partisipatif, agar hasilnya bisa diterima warga korban gempa.

Proses penyediaan rumah sementara bisa dilakukan dengan design yang serba minimalis baik dari segi bahan maupun luasan yang terpenting warga bisa berteduh layak. Namun perlu dipikirkan biaya pembangunan pondok sementara tersebut dengan biaya rekonstruksi secara total, jika perbedaanya tidak banyak. Maka lebih baik membangun secara total.

Sebetulnya untuk penyediaan rumah bagi korban gempa pilihan dengan menyediakan rumah pada kawasan baru yang sesuai dengan rencana tataruang kawasan di daerah tersebut lebih mudah dilakukan daripada harus merekonstruksi rumah rusak pada area yang sama. Dengan menyediakan rumah dikawasan baru, proses perencanaannya akan lebih terpadu dan bisa dilakukan secara sistematis.

Namun untuk membangun kawasan terpadu tersebut perlu prinsip kehati-hatian karena warga seringkali menolak untuk direlokasi ke kawasan baru, mereka lebih memilih bertahan ditempat lama karena alasan lahan tersebut sudah lama menjadi tempat tinggal atau ada alasan-alasan prinsip yang sulit untuk diubah.

Belajar dari proses rekonstruksi gempa yang terjadi di Aceh, banyak bantuan baik dari Indonesia maupun dari luar negeri yang fokus memberikan bantuan pengadaan rumah. Dari sekian banyak bantuan itu, ada beberapa kasus penolakan warga terhadap pemberian bantuan rumah tersebut. Hal ini dikarenakan warga tidak dilibatkan dalam mendesign bangunan yang sesuai dengan kebiasaan adat istiadat warga didaerah tersebut. Untuk itu penyediaan rumah ini perlu dilakukan secara partisipatif dan dilakukan secara bertahap sesuai kehendak warga sekitar.

Penyediaan rumah partisipatif
Dalam penyediaan rumah bagi korban gempa pada kawasan baru secara partisipatif, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan yaitu; pertama, melakukan identifikasi secara menyeluruh mengenai kebutuhan jumlah unit rumah dan lahan yang akan dibangun sebagai kawasan perumahan bagi korban gempa. Kedua. Melakukan perencanaan partisipatif dalam menentukan pelaksanaan pembangunan fisik rumah dan sarana-prasarana kawasan baru perumahan tersebut. Ketiga, membentuk organisasi manajemen estat kawasan perumahan tersebut agar tertata dengan rapi.

Proses identifikasi mengenai kebutuhan jumlah unit rumah yang akan dibangun dan lahan yang siap untuk dijadikan kawasan baru ini, dimulai dengan mendata setiap warga yang terkena gempa dengan cara membentuk kelompok kecil antar warga, setiap kelompok kecil tersebut diberikan kewenangan untuk merumuskan kebutuhan dan anggota yang berhak mendapat rumah. Pihak pemberi bantuan atau donor hanya memonitor prosesnya dan menyusun rencana kerja secara menyeluruh sekaligus menyiapkan budget untuk proses penyediaan rumah tersebut.

Setelah itu proses perencanaan partisipatif yaitu merencanakan proses pelaksanaan pembangunan fisik rumah yang akan disediakan bagi korban gempa. Proses ini sedianya hanya diikuti oleh kordinator perwakilan kelompok warga, sehingga prosesnya lebih cepat. Selebihnya masukan warga akan diterjemahkan oleh pengembang dan tim konsultan lainnya untuk membangun kawasan terpadu.

Selama proses pembangunan berjalan, proses pengorganisasian warga tetap harus dilakukan terutama menyangkut penempatan dan pengaturan manajemen estat kawasan baru tersebut. Dengan adanya proses partisipatif, warga menjadi bagian dari proses rekonstruksi tersebut, sehingga hasilnya bisa diterima warga.

Dalam proses partisipatif tersebut, memang tidak mudah melakukan komunikasi dengan warga korban gempa. Mereka biasanya sulit untuk diajak berkomunikasi karena trauma. Membangun kembali semangat hidup mereka butuh kesabaran, yang perlu diingat cara berkomunikasi dengan para korban gempa tidak menampakkan seolah-olah para pemberi bantuan adalah raja yang perlu diikuti semuanya. Perlu sikap yang sama rata sama rasa yaitu bersikap sewajarnya berempati secara mendalam sambil mendorong agar mereka semangat menyongsong hidup baru.

Dalam proses penempatan rumah bagi korban gempa tersebut, apakah warga mendapatkan rumah secara gratis? Dalam hal ini perlu dipikirkan mekanisme memperoleh rumah tersebut, menurut hemat penulis proses memperoleh rumah tersebut tidak gratis melainkan warga korban gempa diberi berbagai kemudahan misalnya dengan fasilitas kredit. Hal ini dilakukan untuk membangun tanggungjawab warga korban gempa dalam merawat rumah juga dalam kaitannya dengan sumber dana pembangunan kawasan tersebut.

Kemudahan yang bisa diambil oleh para pemberi bantuan kepada korban gempa khususnya dalam hal penyediaan rumah ini adalah dengan memperbolehkan warga korban gempa tidak melalui proses bankable seperti; administrasi uang muka, kependudukan, slip gaji, bunga cicilan yang berat, dan sistem cicilan yang ringan. Untuk menghindari resiko yang lebih besar Bank harus memiliki sistem seleksi khusus penerima kredit pemilikan rumah atau KPR khusus ini dengan cara menerapkan sistem kelompok kecil yang memiliki tanggung jawab atas pinjaman yang macet.

Penerapan sistem ini adalah salahsatu sumbangsih dalam meringankan korban gempa. Sehingga mereka bisa tetap memiliki optimisme dalam memulai kehidupan baru, dengan adanya kemauan dari semua pihak terkait penyediaan rumah ini, bantuan yang seperti ini, akan lebih berguna dan bermanfaat bagi mereka.

Jakarta, 12 Oktober 2009

@mohon kritik dan tanggapan artikel:proilham@gmail.com

Artikel ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia edisi Kamis, 15 oktober 2009