Dec 17, 2007

Global Warming, Neoliberal dan Prilaku kita

Oleh: Ilham M. Wijaya

Kini kita semakin yakin bahwa persoalan mendasar dari masalah dunia saat ini adalah masalah prilaku manusia, pemanasan global (global warming) yang menjadi isu hangat saat ini pada akhirnya kembali kepada konteks prilaku manusia. Sejauh mana manusia dapat menjadi subjek yang memberikan ketenangan dan kedamaian di alam bumi ini. Hal itu tentunya sangat sulit diterapkan apabila melihat kenyataan yang ada sekarang ini, paham neoliberalisme lebih mempengaruhi pola interaksi sosial dan ekonomi masyarakat sehingga hal-hal yang menyangkut etika publik dan masa depan dunia menjadi dipertaruhkan oleh keinginan materialisme sesaat.

Neoliberalisme sungguh menakutkan, paham ini terus bermetamorfosis dalam berbagai bentuk yang terakhir adalah bentuk budaya. Budaya popular yang terus dihembuskan oleh penganut neolib telah berdampak pada perubahan prilaku sosial yang pada akhirnya membentuk karakter 'homo economicus' tanpa batas. Kondisi ini apabila dibiarkan berlarut-larut maka implikasinya ada dua hal pertama, terjadinya dehumanisasi dan kedua,perubahan iklim dunia yang mengarah pada kehancuran.

Seperti halnya yang terjadi saat ini, konfrensi perubahan iklim untuk mensikapi kondisi bumi yang sudah sampai titik nadir akibat ulah manusia. Ternyata sangat sulit menyatukan paham untuk menentukan masalah iklim dunia yang semakin mengkhawatirkan. Para peserta dari negara berkembang dan negara maju cukup sulit menerima bali road map. Keangkuhan Negara adidaya dan berkembang itu semata-mata karena paham pembangunan yang lebih beroreintasi neolib, artinya mereka akan rugi ketika harus mengikuti bali roadmap dimana didalamnya ada keharusan mengurangi penggunaan energi untuk indsutri. Hal ini menunjukkan bahwa ideologi kapitalisme telah membentuk pemikiran dan prilaku yang rakus dan serakah hingga menyebabkan dunia ini diambang kepunahan.

Pemanasan global bukan hanya sekedar isu, tetapi ini sudah menjadi fakta yang dapat menjadi masalah besar dikemudian hari. Dari data World Resources Institute tahun 1994 menunjukkan bahwa pada tahun 1991 AS mengkonsumsi energi hampir tiga kali lipat lebih banyak dari Jepang untuk menghasilkan 1 dolar AS GNP-nya. Dengan penduduk yang hanya 4,6 persen dari penduduk dunia, pada tahun 1991 AS menghasilkan 22 persen emisi global CO2. Dengan pola konsumsi energi sebagai indikator bagi lingkungan yang berkelanjutan, kelahiran bayi di AS menghasilkan 2 kali lipat dampak lingkungan bagi bumi dibandingkan seorang bayi yang lahir di Swedia, 3 kali lipat dibanding di Italia, 13 kali lipat dibanding Brazil, 35 kali dari India, dan 140 kali lipat dibanding Bangladesh.

Dari data tersebut kita akan melihat betapa besar kebutuhan energi negara maju di dunia ini yang disadari atau tidak telah berpengaruh terhadap kondisi bumi. Kebutuhan energi di Negara maju ini disebabkan oleh faktor pola hidup yang serba mewah dan kebutuhan industri yang tidak memperhatikan aspek lingkungan.
Pola hidup masyarakat di Negara maju, rata-rata menggunakan fasilitas AC, rumah luas dengan penghuni sedikit, kendaraan berenergi fosil, pakaian berbahan kulit binatang, penggunaan air yang berlebihan, makanan yang bersumber dari kimiawi dan yang paling penting adalah industrialisasi di Negara-negara maju terutama Amerika Utara dan Eropa. Telah menyumbang sekitar 22 milyar ton karbon per tahun–terutama dari konsumsi BBM, industri, dan penebangan hutan. Di antara negara maju, penyumbang emisi terbesar adalah Amerika (36,1%) disusul Rusia (17,4%), Jepang, dan negara Eropa lainnya dalam persentase kurang dari 10%. Bandingkan dengan negara-negara berkembang seperti Asia, Amerika Selatan, dan Afrika yang “cuma” menyumbang sekitar 4 milyar karbon per tahun–itu pun bukan dari industri, melainkan perubahan penggunaan lahan.

Setelah konfrensi perubahan iklim berakhir kemarin (16/12) dengan kesepakatan yang terbilang sukses, yaitu adanya kesepakatan pengurangan emisi karbon, adanya kesepakatan pembayaran insentif untuk mengurangi deforestasi melalui mekanisme REDD, terjadinya kesepakatan mengenai transfer teknologi penangkapan dan oenyimpanan karbon (CSS) dari negara maju ke negara berkembang. Dari semua hasil kesepakatan itu maka seluruh masalah perubahan iklim dunia akan mengacu pada bali roadmap.

Walaupun ada kemajuan dalam konfrensi perubahan iklim di Bali, Namun sangat disayangkan dari skema bali roadmap, oreintasi neoliberal masih sangat kental. Pembayaran insentif, pengurangan emisi karbon dengan perhitungan sesuai rate yang dikeluarkan setiap negara dan berbagai macam proyek perubahan iklim lainnya. Saya memprediksi dana-dana yang mengalir kebeberapa program ini akan sulit dimonitoring, apalagi negara berkembang rentan dengan praktek Korupsi.

Kekhawatiran ini cukup beralasan, karena penanganan perubahan iklim ini sebetulnya tidak harus menggunakan pendekatan neoliberalisme seperti terjadi saat ini. Kecenderungan pola-pola neoliberal terlihat lebih dominan dibandingkan dengan cara-cara pengembangan kebudayaan dan kearifan penanganan iklim diseluruh dunia. Para peserta konfrensi rupanya larut dengan perlawanan teradap negara maju untuk mengeluarkan insentifnya agar mengganti dana perbaikan iklim di negara berkembang. Padahal agenda itu seharusnya tidak perlu diprioritaskan tetapi menjadi isu kedua setelah adanya komitmen yang terstruktur dan terkontrol dengan baik mengenai komitmen bersama mengurangi emisi karbon dan standar hidup maksimal meliputi gaya hidup, pemakaian rumah, penggunaan air, pakaian atau yang sejenisnya disemua negara di dunia.

Solusi permasalahan pemanasan global tidak hanya terkait dengan perbaikan hutan, pengurangan emisi karbon dengan mengganti energi fosil menjadi energi biofuel, atau mengurangi instrialisasi di seluruh negara. Tetapi yang lebih penting adalah kembalikan dimensi humanisme dalam beragam kehidupan baik melalui pendidikan agama ataupun kearifan spiritualitas lainnya. Inilah keyword utama yang harus didorong semua pihak, agar masa depan dunia tidak menjadi hantu yang menakutkan bagi anak cucu kita.


Jakarta, 16 Desember 2007

proilham@gmail.com

Dec 12, 2007

Efektifitas REIT di Indonesia

Oleh : Ilham M. Wijaya

Disaat iklim usaha properti mengalami kegamangan akibat kondisi makro ekonomi yang tidak menentu, muncul wacana tentang perlunya pemerintah menerapkan Real Estate Investment Trust (REIT) atau lebih dikenal dengan istilah Property Trust. REIT merupakan instrumen investasi berupa surat berharga yang bisa dibeli investor dari perusahaan properti yang menerbitkannya. Surat berharga ini sama dengan surat saham yang mencerminkan kepemilikan atas sebuah perusahaan tertentu. Bagi perusahaan penerbit REIT, ada banyak keuntungan yang bisa diperoleh, biasanya dana yang diperoleh dari penerbitan REIT dipakai untuk restrukturisasi utang atau ekspansi usaha.

Namun persoalannya di Indonesia minat masyarakat untuk membeli saham REIT masih dipertanyakan, inilah kendala terbesar mengapa REIT sulit diterapkan di Indonesia. Meskipun kondisi ini tidak bisa langsung disimpulkan karena kondisi pasar bisa berubah. Selain itu dari segi regulasi yang akan mengatur REIT ini masih butuh waktu panjang, karena sesuai dengan prosedrunya Pemerintah perlu membuat lembaga yang dapat mengontrol aktivitas REIT dan DPR membuat Undang-undang untuk memayungi aktivitas REIT. Prosedur itu tentunya membutuhkan waktu lama. Apalagi dari segi bisnis REIT di Indonesia nilai kapitalisasi asetnya masih terbilang kecil. Inipun belum bisa dijadikan patokan, karena bisa jadi REIT yang diterbitkan didalam Negeri akan diminati masyarakat dalam dan luar negeri. Sehingga industri prorperti bisa terdongkrak maju.

Pengalaman penerpan REIT dari Negri tetangga memberikan pelajaran yang baik, terutama Singapura, sejak diterapkan REIT pada tahun 2002 yang lalu nilai kapitalisiasi pasarnya sudah mencapai Sin$26 miliar (US$17,22 miliar) atau kedua terbesar di Asia setelah Jepang. Dari angka tersebut tentunya kalau dikelola dengan baik akan memacu pertumbuhan ekonomi disuatu Negara.

Selain di Singapura, penerapan REIT sidah diberlakukan di beberapa Negara tetangga seperti; Malaysia, Vietnam, Thailand dan Jepang. Banyaknya Negara yang menerapkan REIT di kawasan Asia menandakan bahwa kawasan Asia mempunyai potensi yang sangat besar untuk investasi properti. Hanya Indonesia saja yang masih bergeming dan masih mencari formulasi yang tepat untuk memberlakukan REIT, mengingat kendala terbesar bangsa yang berpenduduk 220 juta juwa ini adalah masalah kesejahteraan sehingga sangat sulit untuk mengundang masyarakat untuk terlibat dalam investasi properti. Kalaupun ada yang masih merespon intrumen investasi ini, maka kelompok tersebut adalah kelopok yang memang memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi dan itupun masih belum bisa dipastikan apakah kalangan atas di Indonesia tertarik dengan REIT?.

Dari sekian banyak kendala yang dihadapi apabila REIT diterapkan di Indonesia, kekhawatiran lainya adalah mengenai pungutan pajak bagi para investor yang membeli saham di pasar REIT, selama ini di Indonesia belum ada aturan hukum yang mengatur mekanisme pemberlakuan pajak bagi pelaku bisnis di pasar REIT. Kalau di Malaysia pajak tetap diberlakukan bagi pelaku di pasar REIT, sedangkan di Singapura pajak dibebaskan. Sehingga tidak heran kalau banyak para pelaku bisnis properti tertarik dengan pasar REIT Singapura, seperti halnya Group Lippo yang pada Desember tahun lalu melakukan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham First REIT di Bursa Saham Singapura dengan target perolehan dana sebesar Sin$99,7 juta atau sekitar US$64,3 juta. Ternyata hasilnya PT Lippo Karawaci Tbk berhasil meraup dana Rp 2 triliun. Dana tersebut merupakan diversifikasi portofolio properti dan aset yang berkaitan dengan properti di Indonesia.

Keberhasilan Group Lippo ini banyak diikuti oleh para pelaku bisnis properti di Indonesia, namun sangat disayangkan investasi tersebut dilakukan di luar negeri. Padahal kalau investasi itu dilakukan di Indonesia, maka pasar saham di Indonesia akan banyak dilirik oleh pihak luar. Tetapi lagi-lagi aturan dari pemerintah untuk merealisasikan itu tidak bisa langsung selesai, butuh waktu pengkajian terutama menyangkut prospek pasar properti di Indonesia.

Prospek properti di Indonesia ini akan memberikan gambaran yang dapat menjadi bahan analisa untuk penerapan REIT di Indonesia, menurut riset yang dilakukan PT SGT-KS International Consultant Properti, kecenderungan meningkatnya pasokan properti di Indonesia memang tidak selalu dikuti oleh daya serap pasar yang stabil, terkadang kondisinya malah menurun dan sulit utnuk kembali merangkak naik. Hal ini dipengaruhi oleh stabilitas ekonomi dan sosial politik di Indonesia yang tidak pasti. Tetapi berdasarkan data perkembangan pembangunan properti hingga kuartal tiga tahun 2007 kecenderungan itu relatif tidak terjadi, daya serap pasar terhadap produk properti terbilang tinggi rata-rata produk properti sektor kondominium dan apartemen di Jakarta sudah melampaui target pemasaran yaitu diatas 70 %, kalaupun ada yang masih dibawah itu, produk properti tersebut masih relatif baru dipasarkan ke publik.

Sehingga dalam waktu 10 tahun kedepan prospek industri properti di Indonesia masih memberikan peluang yang positif, dan penerapan REIT bisa efektif apabila diikuti oleh keseriusan pemerintah dan pengembang untuk menyusun aturan dan mekanisme yang bisa memajukan sektor properti dan perekonomian nasional.

Jakarta, 12 Desember 2007